Tuesday, 3 November 2015

Hukum Perkawinan Islam

*Catatan ini hanya sebagai pembantu dalam belajar dan bukan menjadi satu-satunya sumber dalam belajar. Sekiranya ini hanya sebagai reminder dan teman-teman bisa belajar dari sumber lain:) Saran dan komentar sangat terbuka untuk saya. Selamat Belajar :D

Ø  Al- dammu wa al-tadakhul (dalam bahasa Arab) artinya bersetubuh, berkumpul, dan akad
Ø  Nikah
- Akad yang memberi faedah untuk melakukan mut’ah secara sengaja artinya kehalalan seorang laki-laki untuk beristima secara syar’i (Hanafizh)
- Ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (UUP)
- Pernikahan, akad yang sangat kuat / mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Tuhan dan melaksanakannya merupakan ibadah (KHI Pasal 2)
Ø  Perkawinan adalah Sunatullah (ketentuan2 Allah) à Surat Yasin ayat 36
Ø  Prinsip-prinsip perkawinan dalam UU Perkawinan :
- Prinsip kesucian akad (pasal 2 ayat 1)
- Prinsip keabadian rumah tangga (pasal 1 UUP)
- Priinsip monogami (pasal 1 UUP)
- Prinsip ketauhidan (berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa)
Ø  Prinsip-prinsip perkawinan islam dalam ajaran islam :
1.       Harus ada persetujuan secara sukarela dari pihak-pihak yang mengadakan perkawinan
2.       Tidak semua wanita dapat dinikahi oleh seorang pria
3.       Perkawinan harus dilakukan dengan memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu, baik yang menyangkut kedua belah pihak
Ø  Asas-asas hukum perkawinan :
1.       Kesukarelaan
2.       Persetujuan kedua pihak
3.       Kebebasan memilih
4.       Kemitraan suami istri
5.       Untuk selama-lamanya
6.       Monogami terbuka (karena darurat)
Ø  Hukum dalam melakukan perkawinan = HARAM – MAKRUH – MUBAH / JAIZ – SUNNAH - WAJIB
Ø  Pelaksanaan pencegahan perkawinan :
A.      Pasal 65 KHI :
- Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan Agama dalam daerah hukum di mana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada Pegawai Pencatat Nikah
- Kepada calon-calon mempelai diberitahukan mengenai permohonan pencegahan perkawinan dimaksud di atas oleh Pegawai Pencatat Nikah
B.      Pasal 17 – 21 UUP
- Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada pegawai pencatat perkawinan.
- Kepada calon-calon mempelai diberitahukan mengenai permohonan pencegahan perkawinan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini oleh pegawai pencatat perkawinan.
- Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan putusan Pengadilan atau dengan menarik kembali permohonan pencegahan pada Pengadilan oleh yang mencegah.
- Perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila pencegahan belum dicabut.
- Pegawai pencatat perkawinan tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9< Pasal 10, dan Pasal 12 Undang-undang ini meskipun tidak ada pencegahan perkawinan.
- Jika pegawai pencatat perkawinan berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut Undang-undang ini, maka ia akan menolak melangsungkan perkawinan.
- Di dalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan perkawinan yang oleh pegawai pencaatat perkawinan akan diberikan suatu keterangan tertulis dari penolakkan tersebut disertai dengan alasan-alasan penolakannya. 
- Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan permohonan kepada Pengadilan di dalam wilayah mana pegawai pencatat perkawinan yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk memberikan putusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakkan tersebut di atas.
- Pengadilan akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat dan akanmemberikan ketetapan, apakah ia akan menguatkan penolakkan tersebut ataukah memerintahkan, agar supaya perkawinan dilangsungkan.
 - Ketetapan ini hilang kekuatannya, jika rintangan-rintangan yang mengakibatkan penolakan tersebut hilang dan pada pihak yang ingin kawin dapat mengulangi pemberitahukan tentang maksud mereka.
Ø  Pembatalan perkawinan :
a.       Pasal 70-76 KHI
Pasal 70
Perkawinan batal apabila :
a. Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang isteri sekalipun salah satu dari keempat isterinya dalam iddah talak raj`i;
b. seseorang menikah bekas isterinya yang telah dili`annya;
c. seseorang menikah bekas isterinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas isteri tersebut pernah menikah dengan pria lain kemudian bercerai lagi ba`da al dukhul dan pria tersebut dan telah habis masa iddahnya;
d. perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah; semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut pasal 8 Undang-undang No.1 Tahun 1974, yaitu :
1.  berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataukeatas.
2.  berhubugan darah dalam garis keturunan menyimpang yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya.
3.  berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau ayah tiri.
4.  berhubungan sesusuan, yaitu orng tua sesusuan, anak sesusuan dan  bibi atau paman sesusuan.
e. isteri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dan isteri atau isteri-isterinya. 
Pasal 71
Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila: a. seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama; b. perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi isteri pria lain yang mafqud. c. perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dan suami lain; d. perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang-undang No.1. tahun 1974; e. perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak; f. perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan. 
Pasal 72
(1) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum.
(2)  Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau isteri
(3)  Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaanya dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak dapat menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.
Pasal 73
Yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan adalah :
a.  para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau isteri;
b. Suami atau isteri;
c. Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut Undang-undang. d. para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam pasal 67. 
Pasal 74 (1)
Permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal suami atau isteri atau perkawinan dilangsungkan. (2) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan pengadilan Agama mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan. 
Pasal 75
Keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap : a. perkawinan yang batal karena salah satu sumaiatau isteri murtad; b. anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
c. pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan ber`itikad baik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan kekutan hukum yang tetap. 
Pasal 76
Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya
b.      Pasal 22-28 UUP
Pasal 22
Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
Pasal 23
Yang dapat mengajukan Pembatalan perkawinan yaitu:
a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri.
b. Suami atau isteri.
c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan.
d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang-undang ini dan setiap orang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.
Pasal 24
Barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.
Pasal 25
Permihonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan ditempat tinggal kedua suami isteri, suami atau isteri.
Pasal 26
(1) Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri, jaksa dan suami atau isteri.
(2) Hak untuk membatalkan oleh suami atau isteri berdasrkan alasan dalam ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka setelah hidup bersama sebagai suami isteri dan dapat memperlihatkan akte perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus diperbaharui supaya sah.
Pustaka: yayasan Peduli Anak Negeri (YPAN) 6
Pasal 27
(1) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum.
(2) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri.
(3) Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu telah menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.
Pasal 28
(1) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak berlangsungnya perkawinan.
(2) Keputusan tidak berlaku surut terhadap :
a. anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
b. suami atau isteri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap harta bersama bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu.
c. Orang-orang ketiga lainnya termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak- hak dengan itikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap
Ø  KHI membedakan perkawinan yang batal dan dapat dibatalkan
Ø  Perkawinan batal bila :
- Suami melakukan perkawinan, padahal sudah mempunyai empat istri walaupun salah satu dari keempat istrinya dalam iddah talak raj’i
- Seseorang menikahi bekas istrinya yang telah dili’annya
- Seseorang menikahi bekas istrinya yang pernah dijatuhi talak 3 kali
- Suami melakukan poligami tanpa izin PA
- Perempuan yang dikawini ternyata masih menjadi istri pria lain yang mafqud
- Perempuan yang dikawini masih dalam iddah suami lain
- Melanggar batas umur perkawinan
- Tanpa wali / dilaksanakan oleh wali  yang tidak berlaku
- Dilaksanakan dengan paksaan
Ø  Suami / istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan, namun hak tersebut dapat gugur bila :
- Ancaman telah berhenti
- Yang bersalah sangka menyadari keadaannya
- Dalam waktu 6 bulan tidak mengajukan permohonan
Ø  Pembatalan perkawinan tidak sama dengan perceraian
Ø  Pembatalan perkawinan dapat diajukan pengadilan agama yang mewilayahi tempat tinggal suami / istri / tempat perkawinan dilangsungkan
Ø  Batalnya perkawinan dimulai setelah putusan pengadilan agama mempunyai kekuatan hukum tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan
Ø  Batalnya
Ø  Keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap (keputusan pembatalan perkawinan tidak memutus) :
- Perkawinan yang batal karena salah satu dari suami / istri murtad
- Anak-anak yang dilaharikan dari perkawinan tersebut
- Pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan beritikhad baik
Ø  Pembatalan perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya
Ø  Larangan perkawinan menurut Syari’a :
- Larangan perkawinan beda agama
- Larangan perkawinan karena zina (mukmin dilarang menikah dengan orang berzina)
- Larangan perkawinan karena Li’an (suami menuduh dengan sumpah bila istrinya sudah berzina tapi tidak dapat mengajukan empat orang saksi)
- Larangan perkawinan karena mempunyai 4 orang istri (laki-laki muslim boleh menikahi wanita lebih dari satu tapi dibatasi hanya empat orang)
- Larangan perkawinan karena talak ba’in Kubra (talak yang terjadi untuk ketiga kalinya)
- Larangan perkawinan karena dengan perempuan yang masih dalam masa iddah
- Larangan perkawinan karena sedang melakukan ibadah haji
- Larangan perkawinan karena hubungan darah yang sangat dekat
- Larangan perkawinan karena hubungan sesusuan (wanita yang haram dinikahi karena hubungan sesusuan adalah ibu yang menyusui dan saudara perempuan sesusuan)
- Larangan perkawinan karena hubungan semenda (tidak boleh menikah dengan mertua perempuan, anak tiri, menantu, menikahi dua orang bersaudara sekaligus)
- Larangan perkawinan karena poliandri (laki-laki dilarang menikahi wanita bersuami)
Ø  Perkawinan dilarang antara dua orang yang (Pasal 8 UUP) :
a. berhubungan darah dalan garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas;
b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan seorang saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri;
d. berhubungan susuan, anak susuan, saudara dan bibi/paman susuan;
e. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;
f. yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau praturan lain yang berlaku dilarang kawin.
Ø  Hak Suami / Hak Istri = Sesuatu yang merupakan milik / dapat dimiliki oleh suami / istri yang diperoleh dari hasil perkawinannya
Ø  Kewajiban = Hal-hal yang harus dilaksanakan / diadakan oleh salah seorang dari suami / istri untuk memenuhi hak dr pihak yang lain
Ø  Hak dan kewajiban mulai berlaku sejak ijab dan kabul dalam perkawinan
Ø  Kewajiban suami ke istri :
- Nafkah, kiswah (pakaian), dan tempat kediaman bagi istri
- Biaya rumah tangga, biaya perawatan, dan pengobatan bagi istri (mulai berlaku sejak ada Tamkin sempurna dari istri sesuai Pasal 80 ayat 5 KHI)
Ø  3 macam hak suami istri dalam perkawinan (Sayyid Sabiq)
- Hak istri atas suami
- Hak suami atas istri
- Hak bersama
Ø  Hukum = Kumpulan hak dan kewajiban, di mana ada aspek sanksi bagi yang tidak menjalankannya
Ø  Hak istri atas suami : (Menurut Syariah)
a.       Materi
- Menerima mahar
- Hak atas nafkah
- Hak atas tempat kediaman
b.      Non Materi
- Menggauli istri dengan baik
- Suami menjaga dan memelihara istri
- Berlaku adil terhadap istrinya
Ø  Hak suami atas istri : (Syariah)
- Istri taat dan patuh pada suami
- Mengurus dan mengatur rumah tangga dengan baik
- Menjaga diri dan harta suaminya
Ø  Hak dan kewajiban bersama antara suami dan istri : (syariah)
- Halal saling bergaul
- Pergaulan yang baik dan tentram, saling cinta dan mencintai
- Hak saling mewaris, apabila salah seorang suami atau istri meninggal dunia
- Sah menasabkan anak kepada suami
- Pergaulan suami istri yang baik dan tentram, saling mencintai dan santun menyantuni
- Slaing menjaga rahasia masing-masing
Ø  Hak kedudukan suami istri dalam perkawinan (Pasal 31 UUP) :
- Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat
- Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum
- Suami = Kepala keluarga ; Istri = Ibu Rumah Tangga
- Suami istri harus memiliki tempat tinggal bersama
Ø  Kewajiban suami :
a.       (Pasal 34 ayat 1 UUP)
Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
b.      Pasal 80 KHI
(1) Suami adalah pembimbing, terhadap isteri dan rumah tangganya, akan tetap mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh sumai isteri bersama. (2) Suami wajib melidungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya
(3) Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada isterinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa.
(4) sesuai dengan penghasislannya suami menanggung : a. nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri; b. biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak; c. biaya pendididkan bagi anak.
(5) Kewajiban suami terhadap isterinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari isterinya.
(6) Isteri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.
(7) Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila isteri nusyuz.
c.       Pasal 81 KHI
(1)  Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi isteri dan anak-anaknya atau bekas isteri yang masih dalam iddah.
(2)  Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk isteri selama dalam ikatan perkawinan, atau dalam iddah talak atau iddah wafat.
(3)  Tempat kediaman disediakan untuk melindungi isteri dan anak-anaknya dari gangguan pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tenteram. Tempat kediaman juga berfungsi sebagai tempat menyimpan harta kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah tangga.
(4)  Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuannya serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya, baik berupa alat perlengkapan rumah tangga maupun sarana penunjang lainnya.
d.      Pasal 30 KHI
Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak. 
Ø  Kewajiban istri :
a. Pasal 83 KHI
(1) Kewajiban utama bagi seoarang isteri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam yang dibenarkan oleh hukum islam.
(2) Istri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik- baiknya.
b. Pasal 34 UUP
Isteri wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik-baiknya.

Ø  Kewajiban suami dan istri :
a.       (Pasal 77 KHI)
 (1) Suami isteri memikul kewjiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dan susunan masyarakat 
(2) Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satui kepada yang lain;
(3) Suami isteri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya;
(4) suami isteri wajib memelihara kehormatannya;
(5) jika suami atau isteri melalaikan kewjibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama
b.      (Pasal 33 UUP)
Suami isteri wajib saling saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain.
Ø  Kedudukan suami istri (Pasal 79 KHI)
(1)  Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.
(2) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
(3) masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
Ø  Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak. 
Ø  Penentuan mahar berdasarkan atas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam. 
Ø  Mahar diberikan langsung kepada calon mempelai wanita dan sejak itu menjadi hak pribadinya. 
Ø  Penyerahan mahar dilakukan dengan tunai. Apabila calon mempelai wanita menyetujui, penyerahan mahar boleh ditangguhkan baik untuk seluruhnya atau sebagian. Mahar yang belum ditunaikan penyerahannya menjadi hutang calon mempelai pria. 
Ø  Kewajiban menyerahkan mahar mahar bukan merupakan rukun dalm perkawinan.
Ø  Kelalaian menyebut jenis dan jumlah mahar pada waktu akad nikah, tidak menyebabkan batalnya perkawinan. Begitu pula halnya dalam keadaan mahar masih terhutang, tidak mengurangi sahnya perkawinan. 
Ø  Suami yang mentalak isterinya qobla al dukhul wajib membayar setengah mahar yang telah ditentukan dalam akad nikah.
Ø  Apabila suami meninggal dunia qobla al dukhul tetapi besarnya mahar belum ditetapkan, maka sumai wajib membayar mahar mitsil.
Ø  Mahar tidak harus tunai, bisa hutang, tapi tidak etis
Ø  Akibat melalaikan kewajiban :
- Dapat diajukan gugatan (suami / istri)
- Istri dianggap Nusyua (Bila istri membangkang)
Ø  Harta kekayaan dalam perkawinan atau Syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersam suami-isteri selam dalam ikatan perkawinan berlangsung selanjutnya sisebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun (Pasal 1 f KHI)
Ø  Macam-macam harta suami istri :
a.       Dari Asal
- Harta bawaan
- Harta yang diperoleh dalam perkawinan
- Harta pencaharian
b.      Sudut Penggunaan
- Untuk pembiayaan rumah tangga keluarga
- Harta keayaan yang lain
c.       Sudut hubungan harta dengan perorangan dalam masyarakat
- Harta milik bersama suami dan istri
- Harta milik seseorang, tapi terlihat pada keluarga
- Harta milik seseorang yang disebutkan dengan tegas oleh yang bersangkutan
Ø  Syirkah = Penyatuan / Penggabungan harta kekayaan seseorang dengan harta orang lain (Suami Istri)
Ø  Al Quran tidak mengatur bagaimana harta bersama suami istri, tetapi dimungkinkan adanya syirkah atas harta kekayaan suami istri
Ø  Faktor penentu keberhasilan = Kepercayaan
Ø  Pelaksanaan Syirkah harta kekayaan suami istri :
- Perjanjian tertulis / diucapkan sebelum / sesudah berlangsungnya akad nikah
- Ditetapkan dengan UU yang mengatur bahwa harta yang diperoleh suami / istri / keduanya dalam masa perkawinan adalah harta bersama suami istri à UU Perkawinan jo. KHI
- Kenyataan kehidupan pasangan suami istri secara diam-diam telah terjadi syirkah (khusus untuk harta bersama yang diperoleh selama perkawinan)
Ø  Harta dalam perkawinan :
(Pasal 35)
(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama
(2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Pasal 36
(1) Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
(2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Ø  Harta kekayaan dalam perkawinan poligami (Pasal 94 KHI)
1. Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang,masing- masing terpisah dan berdiri sendiri.
2. Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang sebagaimana tersebut ayat (1), dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga atau keempat.
Ø  Penggunaan harta kekayaan dalam perkawinan :
- Dalam hal perbuatan hukum berkaitan dengan harta bersama, suami / istri dapat menggunakan harta tersebut, tetapi harus ada persetujuan kedua belah pihak
- Dalam harta masing-masing dapat digunakan oleh masing-masing pihak sepenuhnya
Ø  Perselisihan harta bersama :
- (Pasal 88 jo. Pasal 95 (1 & dan 2) KHI) = Apabila terjadi perselisihan antara suami isteri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama
- (Pasal 24 (2 C) PP 9 tahun 1975 jo Pasal 136 (2) KHI) = suami atau istri dapat meminta Pengadilan Agama untuk meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai, apabila salah satu melakukan perbuatan yag merugikan dan membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk, boros, dan sebagainya
Ø  Perjanjian perkawinan = persetujuan yang dibuat oleh kedua calon mempelai pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, dan masing-masing berjanji akan menaati apayang tersebut dalam persetujuan itu, yang disahkan oleh pegawai pencatat nikah
Ø  Isi perjanjian Perkawinan (Pasal 47 KHI) :
(1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat  perjanjian tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan.
(2)  Perjanjian tersebut dalam ayat (1) dapat meliputi percampuran harta probadi dan pemisahan harta  pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan Islam.
(3) Di samping ketentuan dalam ayat (1) dan (2) di atas, boleh juga isi perjanjian itu menetapkan kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi dan harta bersama atau harta syarikat.
Ø  Pemisahan harta pencaharian (Pasal 48 KHI)
(1) Apabila dibuat perjanjian perkawinan mengenai pemisah harta bersama atau harta syarikat, maka perjanjian tersebut tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
(2) Apabila dibuat perjanjian perkawinan tidak memenuhi ketentuan tersebut pada ayat (1) dianggap tetap terjadi pemisahan harta bersama atau harta syarikat dengan kewajiban suami menanggung biaya kebutuhan rumah tangga.
Ø  Macam-macam harta suami istri :
a.       Dilihat dari sudut asalnya
- Harta masing- masing suami istri yang telah dimilikinya sebelum mereka kawin
- Harta masing-masing suami istri yang diperoleh selama pernikahan, diperoleh karena wasiat, warisan, atau hibah untuk masing-masing
- Harta yang diperoleh setelah mereka berada dalam hubungan pernikahan atas usaha mereka berdua atau salah satu pihak dari mereka (harta pencaharian)
b.      Ditinjau dari sudut penggunaannya
- Untuk pembiayaan rumah tangga, keluarga, dan pendidikan anak-anak
- Harta kekayaan yang lain
c.       Dilihat dari sudut hubungan harta dengan perorangan dalam masyarakat
- Harta milik bersama suami dan istri
- Harta milik seseorang, tetapi terikat pada keluarga
- Harta milik seseorang dan pemilikan itu disebutkan dengan tegas oleh yang bersangkutan
Ø  Tidak ada ketentuan yang jelas di Qur’an dan Hadits dan Kitab Fikih tentang pencatatan perkawinan
Ø  UU Pencatatan Nikah = UU nomor 22 tahun 1946
Ø  Pasal 1 (1) UU Pencatatan Nikah = Nikah yang dilakukan menurut agama Islam, selanjutnya disebut nikah, diawasi oleh pegawai pencatat nikah yang diangkat oleh Menteri Agama atau pegawai yang ditunjuk olehnya. Talak dan rujuk yang dilakukan menurut agama Islam, selanjutnya disebut talak dan rujuk, diberitahukan kepada pegawai pencatat nikah.
Ø  Pasal 3 UU Pencatatan Nikah :
(1) Barang siapa yang melakukan akad nikah atau nikah dengan seorang perempuan tidak di bawah pengawasan pegawai yang dimaksudkan pada ayat (2) pasal 1 atau wakilnya, dihukum denda sebanyak-banyaknya Rp 50,- (Lima puluh rupiah).
(2) Barang siapa yang menjalankan pekerjaan tersebut pada ayat (2) pasal 1 dengan tidak ada haknya, dihukum kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 100,-(seratus rupiah).
(3) Jika seorang laki-laki yang menjatuhkan talak atau merujuk sebagaimana tersebut pada ayat (1) pasal 1, tidak memberitahukan hal itu di dalam seminggu kepada pegawai yang dimaksudkan pada ayat (2) pasal 1 atau wakilnya, maka ia dihukum denda sebanyak-banyaknya R 50,- (Lima puluh rupiah).
(4) Orang yang tersebut pada ayat (2) pasal 1 karena menjalankan pengawasan dalam hal nikah, ataupun karena menerima pemberitahuan tentang talak dan rujuk menerima biaya pencatatan nikah, talak dan rujuk lebih dari pada yang ditetapkan oleh Menteri Agama menurut ayat (4) pasal 1 atau tidak memasukkan nikah, talak dan rujuk di dalam buku-pendaftaran masing-masing sebagai yang dimaksud pada ayat (1) pasal 2, atau tidak memberikan petikan dari pada buku pendaftaran tersebut di atas tentang nikah yang dilakukan di bawah pengawasannya atau talak dan rujuk yang dibukukannya, sebagai yang dimaksud pada ayat (2) pasal 2, maka dihukum kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda sebanyak- banyaknya R 100,- (seratus rupiah).
(5) Jika terjadi salah satu hal yang tersebut pada ayat pertama, kedua dan ketiga dan ternyata karena keputusan hakim, bahwa ada orang kawin tidak dengan mencukupi syarat pengawasan atau ada talak atau rujuk tidak diberitahukan kepada yang berwajib, maka biskalgripir hakim kepolisian yang bersangkutan mengirim salinan keputusannya kepada pegawai pencatat nikah yang bersangkutan dan pegawai itu memasukkan nikah, talak dan rujuk di dalam bukupendaftaran masing-masing dengan menyebut surat keputusan hakim yang menyatakan hal itu.
Ø  Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan = Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ø  Pencatatan perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang dimuat dalam daftar pencatatan
Ø  Pencatatan perkawinan tidak menentukan sah tidaknya suatu perkawinan, tapi UU Perkawinan menempatkan pencatatan perkawinan itu penting karena sebagai bukti bahwa perkawinan sudah terjadi
Ø  Ketentuan Pencatatan Perkawinan dalam KHI Pasal 5-6
Pasal 5
(1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.
(2) Pencatatan perkawinan tersebut apada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diaturdalam Undang-undang No.22 Tahun 1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954. 
Pasal 6
(1) Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, seyiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.
(2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan Hukum. 
Ø  Perkawinan dibawah tangan = Pernikahan tanpa diketahui pegawai pencatat nikah (walaupun sudha memenuhi syarat2 nikah)
Ø  Itsbat nikah = Penetapan tentang nikah à Pengajuan legalitas atas perkawinannya
Ø  Pasal 7 KHI (Isbat Nikah) :
Pasal 7
(1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.
(2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akata Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.
(3) Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan :
(a) Adanya perkawinan dalam rabgka penyelesaian perceraian;
(b) Hilangnya Akta Nikah;
(c) Adanya keragan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawian;
(d) Adanyan perkawinan yang terjadisebelum berlakunya Undang-undang No.1 Tahun 1974 dan;
(e) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang No.1 Thaun 1974;
(4) Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau isteri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu. 
Ø  Yang berhak isbat nikah :
- Suami / istri
- Anak
- Wali
- Pihak berkepentingan
Ø  Selama belum ada pencatatan perkawinan, maka negara belum mengakui perkawinan itu (hukum postif tidak mengakui)
Ø  Pasal 43 (1) UUP :
(1) Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
(2) Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ø  Putusan MK no 46 / PUU-VIII / 2010
Ø  Pencatatan perkawinan dikenal dalam hukum positif kita
Ø  Putusnya perkawinan = Ikatan perkawinan seorang pria dan wanita sudah putus
Ø  Bentuk putusnya perkawinan :
- meninggal dunia
- cerai
- Salah seorang pergi jauh dan tidak ada beritanya (keputusan pengadilan)
Ø  Zinah bisa menjadi salah satu alasan perceraian
Ø  Sebab putusnya perkawinan :
- Talak
- Khulu’
- Syiqaq
- Fasakh
- Ta’lik Talak
- Ila’
-Mubara’ah
- Zihar
-Li’an
- Fahisyah
- Murtad
- Mafqud
Ø  Talak = Melepaskan ikatan perkawinan dengan mengucapkan lafal talak / searti dengannya
Ø  Talak adalah hak suami, karena :
- Laki-laki pada umumnya lebih mengutamakan rasionalitas ketimbang perempuan yang mengutamakan emosi, sehingga mengurangi kemungkinan cerai
- Akad nikah dipegang suami
- Suami wajib membayar mahar kepada istrinya waktu akad nikah dan dianjurkan membayar uang mu’tak
- Perintah-perintah mentalak dalam Al-Quran dan hadist ditunjukkan pada suami
Ø  Syarat suami agar bisa memberi talak :
- Berakal sehat
- Telah Baliqh
- Tidak karena paksaan
- Tidak sedang mabuk
- Tidak sedang marah
Ø  Syarat istri yang bisa ditalak :
- Istri telah terikat diri dengan perkawinan yang sah dengan suaminya
- Istri harus dalam keadaan suci dan belum “dicampuri” oleh suaminya dalam waktu suci itu
Ø  Macam-macam talak :
a.       Talak raj’i = Talak satu / dua yang tidak disertai dengan uang iwald / pengganti dari pihak istri dimana suami boleh merujuk dengan istrinya pada waktu iddah
b.      Talak ba’in :
- bai’n kecil = Talak satu / dua yang disertai uang iwald dari pihak istri (tidak boleh merujuk kembali dalam masa iddah, tapi kalau tetap mau, harus melakukan perkawinan baru dengan istri yang lama)
- bai’n besar = Talak tiga, di mana si suami tidak boleh rujuk / kawin kembali dengan istrinya, kecuali jika :
c.       Talak Sunni = Talak yang dijatuhkan mengikuti ketentuan Al-Quran dan Sunnah Rasul, yang termasuk talak sunni :
- Talak yang dijatuhkan waktu istri dalam keadaan suci
- Talak yang dijatuhkan waktu istri dalam keadaan hamil
d.      Talak bid’i = Talak yang dijatuhkan dengan tidak mengikuti ketentuan Al-Quran dan Sunnah Rasul (haram), contohnya : Talak yang dijatuhkan pada masa haid
Ø  Akibat Talak 
Pasal 149
Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:
a. memberikan mut`ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut qobla al dukhul;
b. memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam iddah, kecuali bekas isteri telahdi jatuhi talak ba1in atau nusyur dan dalam keadaan tidak hamil;
c. melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separoh apabila qobla al dukhul;
d. memeberikan biaya hadhanan untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun
Ø  Pengaturan Mut’ah : 
Pasal 158 =  Mut`ah wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat : a. belum ditetapkan mahar bagi isteriba`da al dukhul; b. perceraian itu atas kehendak suami. 
Pasal 159 = Mut`ah sunnat diberikan oleh bekas suami tanpa syarat tersebut pada pasal 158 
Pasal 160 = Besarnya mut`ah disesuaikan dengan kepatutan dan kemampuan suami.
Ø  Khuluk = Talak tebus (yang mengajukan istri) = Bentuk perceraian atas persetujuan suami istri dengan jatuhnya talak satu dari suami kepada istri dengan tebusan harta / uang dari pihak istri yang menginginkan cerai dengan khuluk itu (Pasal 124 UUP)
Ø  Khuluk dapat dijatuhkan sewaktu-waktu, karena terjadi atas kehendak sendiri
Ø  Syarat sah khuluk :
- Perceraian dengan khuluk itu harus dilaksanakan dengan kerelaan dan persetujuan suami istri
- Besar kecilnya uang tebusan harus ditentukan dengan perssetujuan bersama antara suami istri
Ø  Syiqaq = Perselisihan suami istri yang hebat dan tak dapat dihindarkan
Ø  Fasakh = Merusakkan / membatalkan = Perkawinan diputuskan / dirusakkan atas permintaan salah satu pihak berdasarkan hakim Pengadilan Agama
Ø  Ta’lik Talak = Talak yang digantungkan pada suatu hal yang mungkin terjadi yang telah disebutkan dalam suatu perjanjian yang telah diperjanjikan terlebih dahulu (dilakukan suami setelah akad nikah, dicantum dalam buku nikah)
Ø  Ila’ = Bersumpah untuk tidak melakukan sesuatu pekerjaan tertentu / suami bersumpah tidak mencampuri istrinya (keadaan istri terkatung-katung)
Ø  Ketentuan Ila’ :
- Suami yang mengila’ istrinya hanya boleh 4 bulan
- Setelah habis waktunya, maka suami istri harus bersatu kembali / ditalak
Ø  Zhihar = Prosedur Talak = Suami yang bersumpah bahwa istrinya itu baginya sama dengan punggung ibunya (suami telah menceraikan istrinya)
Ø  Li’an = Sumpah yang didalamnya terdapat pernyataan bersedia menerima laknat Tuhan apabila yang mengucapkan sumpah itu berdusta (putusnya perkawinan antara suami istri untuk selama-lamanya)
Ø  Kematian = Putusnya perkawinan dapat disebabkan kematian salah satu pihak
Ø  Dalam kematian :
- Kalau istri yang mati, suami boleh langsung kawin
- Kalau suami yang mati, istri harus nunggu masa iddah selesai dulu baru boleh nikah
Ø  Iddah = Batasan-batasan waktu yang ditentukan menurut syara’ karena ada bekas waktu yang tersisa
Ø  Kegunaan masa iddah :
- Jangka waktu bagi suami istri yang masih panas-panasnya menghadapi suatu kekeruhan rumah tangga
- Dapat diketahui apakah si wanita sedang hamil atau tidak
Ø  Macam-macam masa iddah menurut sebutan dalam al-Quran :
a.       Janda karena talaq = Masa iddahnya 3 quru
b.      Perceraian yang terjadi waktu istri sedang mengandung = Masa iddahnya dari fix cerai sampai dia melahirkan sampai 40 hari sesudah melahirkan
c.       Janda karena kematian suami = Masa iddahnya 4 bulan 10 hari
Ø  Pasal 39 PP No. 9 tahun 1975 :
- Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu 130 hari
- Apablia perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih datang bulan adalah tiga kali suci dengan sekurang-kurangnya  90 haari dan bagi yang tidak datang bulan ditetapkan 90 hari
- Apabila janda tersebut hamil waktu tunggunya sampai ia melahirkan
- Bagi janda yang selama perkawinannya belum bersetubuh dengan mantan suaminya, maka tidak ada waktu tunggu baginya
Ø  Ketentuan pasal 39 ini tidak bertentangan dengan ketentuan Hukum Islam dalam menentukan lamanya jangka waktu tunggu iddah
Ø  Perempuan dalam iddah berhak atas :
- Tempat tinggal
- Memperoleh nafkah iddah
Ø  Perempuan yang tidak berhak menerima nafkah iddah :
- Perempuan yang menjalani iddah kematian
- Perempuan yang menjalani iddah karena suatu perceraian yang wajib dilaksanakan karena ketentuan syara’
- Perempuan yang menjalani iddah karena perceraian yang disebabkan oleh istri dengan jalan yang dilarang syara’ (ex : istri murtad dari Islam)
Ø  Akibat putusnya perkawinan karena perceraian terhadap anak ialah:
(PASAL 41 UUP)
a. Baik ibuatau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusan.
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilaman bapak dalam kenyataannya tidak dapt memberi kewajiban tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa ikut memikul biaya tersebut.
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.

PASAL 105 KHI
Dalam hal terjadinya perceraian :
a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;
b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaanya;
c. biaya pemeliharaanditanggung olehayahnya.
Ø  Rujuk = Kembali
Ø  Rujuk = Kembalinya seorang suami kepada mantan istrinya dengan perkawinan
Ø  Islah = Rujuk boleh dilakukan bila keduanya (suami-istri) hendak berbalikan kembali
Ø  Seorang suami dapat merujuk dengan bekas isterinya yang dalam masa iddah. (Pasal 150 KHI)
Ø  Rujuk dapat dilakukan dalam hal-hal : (pasal 163)
a.  putusnya perkawinan karena talak, kecuali talak yang telah jatuh tiga kali talak yang dijatuhkan qobla al dukhul;
b. putusnya perkawinan berdasarkan putusan pengadilan dengan alasan atau alasan-alasan selain zina dan khuluk.
Ø  Syarat rujuk :
- Saksi untuk rujuk
- Belum habis massa iddah
- Istri tidak diceraikan dengan talak tiga

Colossians 3:15 Let the peace of Christ rule in your hearts, since as members of one body you were called to peace. And be thankful.

No comments:

Post a Comment