Saturday, 23 May 2015

Asas-Asas Hukum Pidana - 2

Dasar peringan terjadi ketika seseorang telah memenuhi semua unsur, namun ada alasan yang membuat pelaku diancam hukumannya lebih ringan. Dalam dasar peringan yang kita kenal ada 2 yaitu: 
1.    Umum Æ meliputi anak yang belum dewasa yang tercantum pada UU No. 3 Tahun 1997 tentang pengadilan anak yang menggantikan Pasal  45 - 47 KUHP.
2.    Khusus Æ meliputi setiap delik yang masing-masing dirumuskan oleh Pasal -Pasal  yang khusus memperingan delik tersebut dalam KUHP. Contoh: Pasal  308 KUHP.

Tindak Pidana yang dilakukan oleh orang yang di bawah umur :
1.    Anak tersebut mampu bertanggung jawab tapi tidak secara penuh.
2.    Orang dewasa kecil: ada perlakuan khusus

3.    Tidak mampu: Pasal  44 KUHP (orang gila, imbisil/ idiot) 

BATAS  USIA  
a.    Anak: seseorang belum cukup umur- masih di bawah umur;
b.    Terdapat berbagai batasan usia anak: UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak: <  18 tahun termasuk anak dalam kandungan;

c.     Khusus untuk anak yang melakukan Tindak Pidana berlaku UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak: Mereka yang berusia 8 - < 18 tahun dan belum pernah kawin dapat diajukan ke Sidang Anak. Jika melakukan Tindak Pidana < 18 tahun tapi sudah kawin: tunduk pada KUHP.
Pasal  4 UU No. 3 Tahun 1997: Anak dapat diajukan ke Sidang Anak jika telah berusia 8 tahun.
Anak yang melakukan Tindak Pidana < 8 tahun tidak dapat diajukan ke Sidang Anak dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Terhadapnya hanya dilakukan pemeriksaan oleh penyidik. Untuk memeriksa apakah ia melakukan Tindak Pidana tersebut sendiri atau bersama orang dewasa atau jika Tindak Pidana yang dilakukan terkait dengan penyertaan (deelneming) dengan orang dewasa (Pasal  5 UU No. 3 Tahun 1997).



PRINSIP :
“Pemberian hukuman bagi anak itu tujuannya bukan semata-mata untuk menghukum (not to punish the child) tetapi lebih untuk mendidik kembali (re-educate) dan memperbaiki (rehabilitate). Memperhatikan kepentingan anak.”

JENIS-JENIS PIDANA :
Pasal  22 UU No. 3 Tahun 1997: terhadap anak nakal hanya dapat dijatuhkan pidana atau tindakan yang ditentukan oleh UU ini. 1. Pidana: Pasal  23
a.    Pidana Pokok : 
ƒ  pidana penjara
ƒ  pidana kurungan
ƒ  pidana denda              
ƒ  pidana pengawasan
b.    Pidana tambahan :
ƒ  perampasan barang-barang tertentu ƒ ganti kerugian

2. Tindakan : Pasal  24
a.    mengembalikan pada orangtua
b.    diserahkan pada negara
c.     diserahkan pada Departemen Sosial/Organisasi Sosial Kemasyaraktan, tindakan dapat disertai teguran

Pada anak dapat dikenai pula pidana bersyarat (Pasal  29) atau wajib latihan kerja (Pasal 
28 ayat 3)  Tidak ada : Pidana mati
Pidana penjara seumur hidup
Perampasan barang-barang tertentu
Pencabutan hak-hak tertentu Pengumuman putusan pengadilan
a.    Jika melakukan seperti yang diatur dalam Pasal  1 angka 2 huruf a (melakukan tindak pidana), maka: dapat dikenai pidana atau tindakan (Pasal   25 ayat 1)
b.    Jika melakukan seperti yang diatur dalam Pasal  1 angka 2 huruf b (melakukan perbuatan yang dilarang), hanya dpt dikenai tindakan saja (Pasal  25 ayat 2).

KUHP
Pasal  45 - 47
UU No. 3/1997 Tentang Pengadilan Anak
1. tindak pidana saja
1. tindak pidana atau perbuatan lain
2. Batas usia :
    Umur < 16 th (Pasal   45 )
Waktu dituntut < 21 tahun. Tidak ada aturan sudah menikah/belum
2. umur 8 – < 18 dan belum menikah

3. Pidana yang diancamkan terhadap orang dewasa –1/3
3. Pidana yang diancamkan tehadap orang dewasa –1/2
4. Jenis pidana :
dikembalikan pada orangtua
diserahkan pada negara
dipidana biasa (- 1/3) sesuai Pasal  10
4.   Pidana atau tindakan Pasal   23
5. hanya mengatur hukum materiil
5. mengatur hukum Materiil dan formil
UU No. 3/1997
KUHAP
Petugas hukum khusus: penyidik anak, hakim anak, jaksa anak.
Tidak ada petugas khusus yang menangani perkara anak
Penangkapan = KUHAP
-
Penahanan lebih pendek
Pasal  44 jo Pasal  50
Penahanan untuk penyidikan: 20 –30 hari
Penahanan untuk kept penuntutan: 10 – 25
hari
Penahanan untuk kept pemeriksaan: 15 –
30 hari
Penahanan lebih panjang
Pasal  20
Penahanan untuk penyidikan: 20 – 40 hari
Penahanan untuk kept penuntutan: 20 – 50
hari
Penahanan untuk kept pemeriksaan : 30 –
90 hari
Adanya hak-hak khusus
Pasal  45 ayat (4)
Pasal  51 ayat (1) dan (3)
-
Adanya           laporan           hasil     penelitian
kemasyarakatan (Pasal  56 dan 59)
-

CATATAN :
1.    Pengadilan anak berada dalam lingkup peradilan umum (Pasal  2 UU No. 3 Tahun 1997)
2.    Pengadilan Anak khusus menangani perkara yang dilakukan oleh anak (Pasal  3), tidak secara tegas dinyatakan hanya menangani perkara pidana tapi dari isinya dapat disimpulkan demikian
3.    Harus diteliti: akte kelahiran, ijazah, dsb
4.    Petugas hukum khusus, Pasal  10, 41 dan 53
5.    berhak didampingi penasehat hukum dan mendapat bantuan hukum (Pasal  51, 52), sesuai Pasal  21 ayat 1 KUHAP
6.    Tersangka/terdakwa anak dapat ditahan (Pasal  45) - tapi dipisahkan dari orang dewasa. Sesuai Pasal  36, 37 UU No. 14 Tahun 1970.
7.    diperiksa dalam suasana kekeluargaan (Pasal  42 ayat 1), hakim, jaksa tidak pakai seragam/toga Pasal  6
8.    Pemeriksaan dirahasiakan Pasal  42 ayat 3
9.    dilakukan dalam sidang yang tertutup untuk umum Pasal   8, Pasal  153 ayat 3 KUHAP, SEMA RI No. 2 Tahun 1959
10. Laporan hasil penelitian kemasyarakatan Pasal  56
11. LP anak terpisah dari LP dewasa Pasal  60.
12.  Seorang anak yang melakukan delik pada umur 16 tahun, baru dituntut pada umur 20 tahun, diadili di pengadilan anak
13. Seseorang anak yang melakukan delik pada umur 15 tahun, baru dituntut pada umur 25 tahun, diadili di pengadilan umum

Dasar pemberat terjadi ketika seseorang yang sudah melakukan semua anasir dari unsur tindak pidana, namun ada alasan untuk memperberat perbuatannya

Pengertian:
Recidive terjadi dalam hal seseorang yang telah melakukan suatu tindak pidana dan yang telah dijatuhi pidana degan suatu putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap, kemudian melakukan suatu tindak pidana lagi yang deliknya sekelompok dengan delik yang ia lakukan sebelumnya
Selang waktu recidive ada jangka waktunya / dibatasi waktunya à Jangka waktu 5 tahun

Recidive merupakan suatu alasan/dasar untuk memperberat pidana.


Recidive menurut Doktrin : Ada 2 sistem pemberatan pidana berdasarkan recidive :


1. Recidive Umum,


Setiap pengulangan tindak pidana apapun dan dilakukan kapanpun.


2. Recidive Khusus,


Pengulangan tindak pidana tertentu dan dalam tenggang waktu tertentu pula.


Recidive menurut KUHP :

1. Pelanggaran (buku 3):


™ Ada 14 jenis pelanggaran yang memiliki ketentuan recidive (khusus)


™ Recidive khusus Pasal 489, 492, 495, 501, 512


™ Pelanggaran yang diulangi (yang ke-2) harus sama dengan yang ke-1 ™ Antara pelanggaran ke-1 dan 2 harus ada putusan pemidanaan yang tetap ™ Tenggang waktu :


Belum lewat 1 atau 2 tahun (lihat masing-masing Pasal ) Sejak: adanya putusan pemidanaan yang berkekuatan hukum tetap.


™ Pemberatan :  Disebutkan secara khusus dalam tiap-tiap Pasal , jadi pengaturannya berbedabeda.
 Contoh: denda Æ kurungan (Pasal 489), pidana dilipatgandakan jadi 2x (492).


2. Kejahatan (buku 2) :


a. Recidive khusus :


-™ Ada 11 jenis kejahatan, contoh: Pasal 137 (2), 144 (2), 155 (2), 161 (2), dan 216 (3).
-Kejahatan yang ke-2 harus sama dengan yang ke-1.
-Antara kejahatan ke-1 dan yang ke-2,
-harus sudah ada putusan hakim berupa pemidanaan yang telah berkekuatan hukum tetap.
-Tenggang waktu : Belum lewat 2 tahun atau 5 tahun (lihat masing2 Pasal ), sejak: adanya putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap.
-™ Pemberatan : disebut secara khusus dalam Pasal -Pasal nya.

b. Recidive sistem antara: (Tussen stelsel – Pasal 486, 487 dan 488) Syarat recidive menurut Pasal 486, 487 dan 488 :


1. Kejahatan yang ke-2 (yang diiulangi) harus termasuk dalam suatu kelompok jenis dengan kejahatan yang ke-1 (yang terdahulu).


Kelompok jenis itu adalah :


™ Kelompok jenis kejahatan dalam Pasal 486 adalah kejahatan terhadap harta benda & pemalsuan;


™ Kelompok jenis kejahatan dalam Pasal 487 merupakan kejahatan terhadap nyawa dan tubuh;


™ Kelompok jenis kejahatan dalam Pasal 488 merupakan kejahatan mengenai penghinaan & yang berkaitan degan penerbitan/ percetakan.


2. Antara kejahatan yang ke-1 dan ke-2 harus sudah ada putusan hakim berupa pemidanaan yang berkekuatan hukum tetap.


3. Pidana yang pernah dijatuhkan hakim terdahulu harus berupa pidana penjara.


4. Ketika mengulangi, tenggang waktunya:


a. Belum lewat 5 tahun :


™ menjalani seluruh atau sebagian pidana penjara untuk kejahatan yg ke-1; ™ Sejak pidana penjara sama sekali dihapus (misalnya: karena grasi).


b. Belum lewat tenggang waktu daluwarsa kewenangan menjalankan pidana (penjara) atas kejahatan yang ke-1. Lihat Pasal l 84 jo 78.


5. Pemberatannya : Ancaman pidana +(1/3-nya)

Dasar penghapus pidana terjadi ketika seseorang memenuhi semua anasir delik, namun ada kondisi dimana orang tersebut tidak dapat dipidana.
Dasar penghapus terdiri atas
a.         KUHP
b.         Doktrin

Dalam UU penghapus pidana dibagi 2:         
1. Umum Æ berlaku pada siapa saja dan delik apa saja. Contoh: Pasal  44-51 KUHP 2. Khusus Æ berlaku pada orang-orang tertentu dan delik-delik tertentu. Contoh: Pasal  221
Dalam doktrin dasar penghapus dibagi jadi :
1.    Dalam KUHP = Pembenar dan Pemaaf
2.    Diluar KUHP = Hak mengawas & mendidik anak dan anak didik, Hak jabatan, Izin Korban
AVAS (Afweigheid Van Alle Schuld) Æ tidak ditemukan kesalahan (berlaku umum), contoh: yang termasuk dalam delik, namun ada dasar yang menghapus pidana:
Menjewer Æ Masih dalam batas kepatutan, karena bermaksud untuk mendidik.
Tinju Æ adanya persetujuan.
Dasar Pemaaf

1.     Pasal  44 Æ tidak sehat akalnya

2.     Pasal  48 Æ overmacht/ daya paksa

3.     Pasal  49 ayat (2) Æ bela paksa lampau

batas/ noodweer excess

4.     Pasal  51 ayat (2) Æ menjalankan perintah

jabatan yang tidak sah, namun dikira sah.


Dasar pembenar
1.     Pasal                      48 Æ    keadaan       darurat/ noodtoestand
2.     Pasal  49 ayat (1) Æ bela paksa/ noodweer
3.     Pasal  50 Æ melaksanakan perintah UU
4.     Pasal  51 ayat (1) Æ melaksanakan perintah jabatan yang sah
Perbedaan dasar pembenar dan dasar pemaaf:
Dasar pembenar:
Apabila dasar penghapusnya merupakan dasar pembenar yang menghilangkan sifat melawan hukum, dimana sifat melawan hukum itu tercantum dalam perumusan delik, maka putusannya adalah bebas dari segala dakwaaan Dasar pemaaf:
Apabila dasar penghapusnya merupakan dasar pemaaf yang menghilangkan sifat kesalahan, dimana sifat kesalahan tersebut tercantum dalam perumusan delik, maka
putusannya adalah bisa bebas (jika dibuktikan dan ternyata tidak terbukti) atau lepas (jika tidak terdapat unsur kesalahan).

Kegunaan dasar pembenar dan dasar pemaaf dalam hal penyertaan (Dalam penyertaan dimana satu tindak pidana ada andil lebih dari 1 orang):
Dasar pembenar Æ jika salah satu dari si pelaku yang mempunyai dasar penghapus yang merupakan dasar pembenar, maka [ihak pelaku yang lain juga dikenakan dasar pembenar juga.
Dasar Pemaaf  Æ apabila seseorang mempunyai dasar pemaaf, maka pelaku yang lain tidak mempunyai dasar pemaaf.
Perbedaan dasar pembenar dan pemaaf
DASAR PEMBENAR
DASAR PEMAAF
Kolektif
Individu
Perbuatannya dibenarkan walaupun memenuhi seluruh unsur
Perbuatannya dimaafkan walaupun memenuhi seluruh unsur
Bebas dari segala tuntutan hukum
Lepas dari segala tuntuan hukum
Tidak bisa dijalan upaya hukum
Tidak bisa banding tapi bisa kasasi
Perbuatannya diatur oleh UU
Perbuatannya tidak diatur oleh UU
Menghilangkan sifat melawan hukum
Menghilangkan sifat kesalahan
Fokus pada tujuan
Fokus pada perbuatan

Paksaan (Dwang) adalah dorongan / kekuatan / paksaan (baik psikis maupun fisik) yang tidak bisa dilawan

 Overmacht merupakan suatu dorongan yang tidak dapat dielakan lagi yang berasal dari luar.
Daya paksa ada 2:
1.    Absolut (vis absoluta) Æ tidak mungkin dapat dilawan
A dipegang dengan erat lalu dilemparkan oleh B, sehingga kacanya pecah.
A yang dipegang tangannya oleh B untuk menandatangani surat.
A yang dihipnotis untuk melakukan tindak pidana.

2.    Relatif (vis composiva) Æ dorongan atau paksaan masih mungkin untuk dilawan. Seseorang akan melakukan hal yang sama jika berada dalam keadaan itu.
A ditodong oleh B dengan pistol disuruh membakar rumah, jika A tidak lekas membakar rumah maka pistol yang ditodongkan oleh B akan segera menembak A.
Namun jika ia menuruti perintah membakar rumah itu A tidak dapat dihukum.

Ingat dalam overmacht, harus ada syarat subsidaritas dan syarat proposionalitas.
1.    Syarat subsidaritas Æ adanya keperluan yang mutlak, tidak ada jalan lain.
2.    Syarat proposionalitas Æ adanya keseimbangan antara kepentinagn hukum yang dilanggar dengan kepentingan hukum yang dilindungi.
Intinya delik dilakukan karena adanya dorongan atau paksaan, namun tidak ada perlawanan

Noodtoestand adalah daya paksa dalam arti luas (overmacht yang diperluas)
Pembuat melakukan suatu delik terdorong oleh paksaan dari luar, pembuat dipaksa untuk memilih tapi pilihannya seringkali dibenturkan oleh situasi / keadaan dan terkadang alam
Keadaan darurat (noodtoestand) dibagi 3:
Suatu pertentangan antara kepentingan hukum, contoh: 2 orang yang terhanyut di laut merebut sebatang kayu, tetapi kayu tersebut hanya dapat menahan 1 orang saja, maka yang lebih kuat menggencet yang lemah sehingga yang lemah itu terbenam.
Suatu pertentangan antara kepentingan hukum dengan kewajiban hukum, contoh: seorang polisi yang memecahkan kaca jendela untuk menyelamatkan orang didalam rumah yang sedang terbakar. Seorang dokter militer yang mempunyai kewajiban untuk merahasiakan penyakit pasiennya.
Suatu pertentangan antara kewajiban hukum, contoh: A dipanggil ke PN Jak-Sel namun dilain sisi ia juga dipanggil oleh PN Jak-Bar, maka A dapat memutuskan ia akan pergi ke PN mana.

Pasal  49 (1) KUHP adalah tindakan main hakim sendiri, namun dibenarkan oleh hukum karena memenuhi syarat-syarat tertentu.

Syarat-syaratnya (Syarat serangan dan Syarat Pembelaan) :
1.    Adanya serangan yang melawan hukum
2.    Serangan itu seketika dan pembelaannya seketika itu juga
3.    Serangan dilakukan terhadap diri sendiri atau orang lain
4.    Yang dibelanya hanya sebatas pada badan, harta-benda, kehormatan kesusilaan
5.    Pembelaannya harus memenuhi syarat proporsionalitas 
6.    Pembelaannya harus mengandung syarat subsidaritas
Contoh: Ketika A sehabis keluar dari tempat ATM, A membawa uang sebesar 10 juta yang habis diambilnya untuk melakukan mengobatan atas anak yang terkena penyakit demam berdarah, namun malang nasib A yang hendak dirampok sehingga melihat keadaan begitu A cepat membela diri dengan memukulnya hingga perampok itu melarikan diri.

 Pasal  49 (2) KUHP adalah keadaan dimana terdapat bela paksa, namun benar-benar melampaui syarat proposionalitasnya, yang dikarenakan goncangan jiwa yang sangat luar biasa.


Syarat-syarat Bela Paksa Lampau Batas:
1.    Melampaui batas pembelaan yang perlu
2.    Terbawa oleh perasaan yang “sangat panas hati” / kegoncangan jiwa
3.    Ada hubungan kausal antara kegoncangan jiwa dengan serangan yang dilakukan
Contoh: Malang nasib Brigjen A pulang pukul 18.00 dari kantornya dan menuju rumah, sesampainya di rumah dilihat istrinya sedang diperkosa oleh preman. Melihat kejadian itu, dengan seketika Brigjen A mengambil pistol yang ada dalam sakunya lalu ditembakkan beberapa peluru kearah preman itu hingga mati.
Bahwa pembelaan oleh Brigjen A semestinya dapat dihindarkan dengan menggunakan pistol yang dapat digantinya dengan sebuah kayu, namun ini yang dinamakan melampaui batas. Lalu mencabut pistol yang dibawa dan ditembakkannya beberapa kali pada orang itu, boleh dikatakan ia melampaui batas pembelaan darurat, karena biasanya dengan tidak perlu menembakkan beberapa kali, orang itu telah menghentikan perbuatannya dan melarikan diri, serta boleh melampaui batas karena ada unsur “panas hati” yang amat sangat panas.
Perbuatan dianggap melampaui batas / tidak ditentukan oleh pendapat mayoritas, orang, ahli, atau keadaan à Ditentukan batas logisnya
Ingat Noodweer Excess tidak mutlak oleh syarat subsidair dan proporsinalitas.

            overmacht
B          A                                  C                      D
 


B melakukan overmacht ke A. A yang overmacht memukul C, sehingga D membela C dan memukul A. Lalu A memukul C, D membela maka disebut bela paksa.

Pasal  50 KUHP Æ Menjalankan UU
1.    Ada asas proporsionalitas dan subsidaritas
2.    Melakukan karena diharuskan / diperintahkan oleh suatu UU
3.    UU memberi kewenangan terhadap polisi untuk melakukan perbuatan melawan hukum
4.    Dasar pembenar
5.    Dapat dasar dari UU

Pasal  51 (1) KUHP Æ Menjalankan perintah jabatan yang sah
1.    Dasar pembenar
2.    Ada pejabat yang mempunyai kewenangan, pejabat yang sah dan kewenangan atau perintah yang sah à Ex : Polisi menembak penjahat
3.    Yang diperintahkan adalah hukum publik
4.    Yang diperintahkan/ memerintah tidak harus atas dan bawahan

Pasal  51 (2) KUHP Æ Melakukan perintah jabatan tapi tidak sah, namun dikira sah
1.    Melakukan perintah jabatan tapi tidak sah, namun dikira sah
2.    Dasar pemaaf
3.    Harus ada hubungan atasan dan bawahan
4.    Dengan itikad baik ia mengira perintah itu sah 
5.    Menjalankan harus dalam lingkup pekerjaan dia
Contoh: A dendam ke B, lalu menyuruh bawahannya yaitu C untuk menangkap B.

Syarat-syarat seseorang terkena Pasal  51 (2) KUHP:
Yang diperintah sama sekali tidak tahu bahwa perintah yang dikeluarkan adalah suatu perintah yang tidak sah.
Menjalankan perintah itu harus adanya hubungan hierarkis antara atasnan dan bawahan.

Perbedaan daya paksa dan bela paksa
- Daya paksa melibatkan 3 pihak (melakukan pidana ke pihak lain) à Tersangka karna dipaksa untuk jadi tersangka
- Bela paksa melibatkan hanya 2 pihak à Bela diri

Gabungan adalah seseorang yang melakukan 1 perbuatan atau beberapa perbuatan yang melanggar 1 aturan pidana atau beberapa aturan pidana, dimana perbuatannya belum dijatuhi oleh putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap.
Tujuan diterapkan gabungan tindak pidana :
- Sebagai dasar pemberat pidana à Menurut pembentuk KUHP Belanda
- Membatasi total pidana maksimal bagi beberapa tindak pidana à Hogeraad
- Memberikan pedoman bagi hakim à Uttrecht
- Menghindari kesewenang-wenangan
Dalam hukum pidana kita mengenai 3 jenis gabungan:
a.      Gabungan berupa 1 perbuatan (eendaadse samenloop/concursus idealis) Æ Pasal  63
KUHP à Perbarengan tindakan tunggal
Concursus Idealis Homogenius: 1 perbuatan yang dilakukan melanggar 1 Pasal  beberapa kali. Contoh: pembunuhan dengan melempar bom, niat A hanya untuk membunuh B namun dengan dilemparkannya bom, maka oranglain pun ikut mati.
Concursus Idealis Heterogenius: 1 perbuatan yang dilakukan melanggar beberapa Pasal. Contoh: A memperkosa anak kecil di jalan.

b.      Gabungan beberapa perbuatan (meerdaadse samenloop/concursus realis) Æ Pasal  65,
66, 70 KUHP
Concursus Realis Homogenius: beberapa perbuatan yang melanggar 1 Pasal  beberapa kali. Contoh: Hari ini A membunuh, besok A membunuh lagi, dan seminggu kemudian A membunuh lagi.
Concursus Realis Heterogenius: beberapa perbuatan yang melanggar beberapa Pasal   Contoh: hari ini A mencuri, besok memperkosa, seminggu kemudian ia membunuh.

c.       Perbuatan Berlanjut (voortgezette handeling) Æ Pasal  64 KUHP
Beberapa perbuatan tapi niatnya sama
Contohnya: Niat A ingin mengambil komputer, maka hari ini A mengambil speaker dahulu,
Delik yang tertinggal yang terjadi sebelum putusan pengadilan
Contoh: A melakukan TP :
Pencurian (Pasal  362) pada tanggal 1 Mei ’98
Penganiayaan (Pasal  351 ayat 2) pada tanggal 6 Juni ’98
Penipuan (Pasal  378) pada tanggal 4 Juli ‘98
Tertangkap pada bln Agustus ’98, Diadili pada bulan Desember ’98 dan dijatuhi pidana penjara 6 tahun
Kemudian diketahui bahwa pada tanggal 15 Juni 1998, A bersama B melakukan pembunuhan (Pasal 338) terhadap X
Berapa pidana maksimal untuk A atas pembunuhan terhadap  X Rumus:

Pidana maksimal untuk Tindak Pidana yang diketahui belakangan (P2)=
            Pidana maksimal jika diadili sekaligus (Pasal ) – Pidana yang telah dijatuhkan (P1)

Maka dalam kasus tersebut A dapat dikenakan daluwarsa:
1.    Pencurian (362)           Æ 5 tahun 
2.    Penganiayaan (351)  Æ 5 tahun 
3.    Penipuan (378)  Æ 4 tahun 4. Pembunuhan (338)  Æ 15 tahun +
5.  
= 29 tahun
Namun, dalam kasus ini dengan diadilinya A secara bersamaan maka ia tidak dijatuhi 29 tahun. Jadi, 15 tahun (pembunuhan) + 1/3 x 15 tahun = 20 tahun
Maka dari rumus diatas A dikenakan 20 tahun - 6 tahun = 14 tahun.

Perbedaan Recidive dan Delik Yang Tertinggal
RECIDIVE
DELIK YANG TERTINGGAL
Perbuatan pidana (I) à Putusan hakim (II) à Perbuatan pidana (III)
Perbuatan pidana (I) à Putusan Hakim (II), namun setelah putusan hakim, diketahui ada perbuatan pidana pada masa I yang belum dihitung


Perbuatan Berlanjut (Pasal  64 KUHP)
Seseorang melakukan beberapa perbuatan
Perbuatan tersebut  masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran
Antara perbuatan-perbuatan itu ada hubungan sedemikian rupa sehingga  harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut.
Makna: “ ada hubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatah berlanjut”
Menurut MvT harus dipenuhi 3 syarat: 
1.    Harus ada 1 keputusan kehendak
2.    Masing-masing perbuatan harus sejenis
3.    Tenggang waktu antara perbuatan-perbuatan itu tidak terlalu lama 

Pemidanaan Perbuatan Berlanjut:
Pasal  64 (1):  prinsipnya sistem absorbsi
Pasal  64 (2): ketentuan khusus untuk pemalsuan dan perusakan mata uang
Pasal  64 (3): ketentuan khusus untuk kejahatan ringan
Contoh: 3X penipuan ringan sebagai perbuatan berlanjut; tidak diancam pidana 3 bulan penjara (Pasal  379), tetapi 4 tahun penjara (Pasal  378).

Istilah-istilah dalam penyertaan :
Turut Campur
Complicity
Turut Berbuat Delik
Participation
Turut Serta
Penanggung Jawab Pidana

Pelaku Tindak Pidana adalah mereka yang memenuhi seluruh unsur dari tindak pidana
Pembuat :
a.             Dalam arti sempit = Mereka yang melakukan tindak pidana
b.             Dalam arti luas = Pleger, Doenpleger, Medepleger, Uitlokker
Penyertaan adalah terlibatnya lebih dari 1 orang dalam 1 tindak pidana (sebelum atau pada saat tindak pidana terjadi). Penyertaan ini dapat kita lihat pada Pasal  55, 56, 57 KUHP. Dalam Pasal  tersebut dapat kita jabarkan ada 5:
1.    Yang melakukan (Pleger) Æ Pasal  55 ayat (1) ke-1 KUHP
2.    Yang menyuruh melakukan (doenpleger) Æ Pasal  55 ayat (1) ke-1 KUHP
3.    Yang turut melakukan (medepleger) Æ Pasal  55 ayat (1) ke-1 KUHP
4.    Yang menggerakkan atau menganjurkan atau membujuk untuk melakukan (uitlokking) Æ Pasal  55 ayat
(1) ke-2 KUHP
5.    Yang membantu (medeplictige) Æ Pasal  56 KUHP

Bentuk pertanggung jawaban dari masing-masing di atas dalam tindak pidana adalah berbeda
Ajaran penyertaan dibuat agar dapat menghukum mereka yang tidak memenuhi seluruh unsur tindak pidana, karena tanpa kontribusinya, tindak pidana tidak dapat terjadi

Ad.1 Yang melakukan (Pleger) Æ Pasal  55 ayat (1) ke-1 KUHP
Menurut R. Soesilo Seseorang yang sendirian telah berbuat mewujudkan segala anasir atau elemen dari tindak pidana, serta pelaku telah memenuhi semua unsur delik yang ia lakukan.

Ad.2 Yang menyuruh melakukan (doenpleger) Æ Pasal  55 ayat (1) ke-1
Disini ada 2 orang yaitu yang menyuruh (Pelaku tidak langsung) dan yang disuruh (Pelaku langsung), dimana seseorang mempunyai kehendak untuk melakukan tindak pidana, tetapi dia tidak melaksanakannya sendiri melainkan menyuruh oranglain utnuk melakukannya. Dalam hal doenpleger, yang menyuruh diancam pidana sebagaimana seorang pelaku, namun yang disuruh itu tidak dapat dijatuhi hukum pidana, karena yang disuruh tersebut mempunyai syarat jika dalam keadaan overmacht, sakit jiwa, perintah jabatan, kurang sempurna akalnya, belum dewasa, perbuatan menjalankan UU, kesalahpahaman, avas / tiada kesalahan sama sekali, dll (Pasal 44,45,48,50,51)
Pelaku tidak langsung = Sama sekali tidak melakukan secara fisik tindak pidana yang dikehendaki

Ad.3 Yang turut melakukan (medepleger) Æ Pasal  55 ayat (1) ke-1 KUHP
Dalam turut melakukan dalam arti kata bersama-sama melakukan, sedikit-dikitnya ada dua orang yaitu orang yang melakukan dan orang yang turut melakukan. Dalam turut melakukan, beberapa orang bersama-sama melakukan tindak pidana, namun kemungkinananya:
Semua dari mereka yang terlibat masing-masing memenuhi semua unsur tindak pidana
Ada yang memenuhi semua unsur, ada yang memenuhi sebagian saja, bahkan ada yang sama tidak memenuhi unsur delik
Semua hanya memenuhi sebagian-sebagian saja unsur delik
Dalam turut melakukan ancaman pidananya adalah sama, sehingga dalam turut melakukan ada syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu:
Adanya kerjasama secara sadar, tidak perlu ada kesepakatan, tapi harus ada kesengajaan untuk bekerjasama dan untuk mencapai hasil yang berupa tindak pidana.
Para peserta menyadari akan dilakukannya tindak pidana (niat)
Mereka sadar bahwa mereka bersama-sama akan melakukan Tindak Pidana
Kesadaran ini tidak perlu timbul jauh sebelum dilakukannya tindak pidana (Dapat timbul pada saat terjadinya peristiwa


Adanya pelaksanaan bersama-sama secara fisik

Ad.4 Yang menggerakkan atau menganjurkan untuk melakukan (uitlokking) Æ Pasal  55 ayat (1) ke-2 KUHP
Dalam penggerakkan/ uitlokking, seseorang mempunyai kehendak untuk melakukannya sendiri, melainkan menggerakkan orang lain untuk melaksanakan niatnya itu. Adapun syarat penggerakkan yang dapat dipidana:
Ada kesengajaan menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana (dia tidak melakukannya sendiri)
Menggerakkan dengan upaya-upaya yang ada dalam Pasal  55 ayat (1) butir ke-2 KUHP yaitu pemberian janji, penyalahgunaan kekuasaan atau pengaruh, kekerasan, ancaman kekerasan, tipu daya, memberi kesempatan, alat, keterangan.
Ada yang tergerak untuk melakukan tindak pidana dengan sengaja digerakkan dengan upaya-upaya dalam Pasal  55 ayat (1) butir ke-2 KUHP
Yang digerakkan melakukan delik yang dianjurkan atau percobaannya
Yang digerakkan dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana.

Ad.5 Yang membantu (medeplictige) Æ Pasal  56 KUHP
Membantu melakukan mempunyai syarat yang dapat digolongkan kedalam pembantuan:
Harus dilakukan dengan kesengajaan
Menurut Pasal  56 kUHP ada 2 jenis pembantuan:
o   Membantu sebelum tindak pidana Æ sarananya kesempatan, daya upaya, keterangan
o   Membantu pada saat terjadinya tindak pidana Æ sarananya boleh apa saja (tidak ditentukan UU)
Ancaman pidana bagi seorang yang membantu adalah -1/3 dari pelaku kejahatan. (2/3 dari pelaku kejahatan
Perbuatannya accessoir (adanya pembantuan harus ada orang yang dibantu)
Deelneming
Niat
Memenuhi
Unsur
Pertanggungjawaban
Doenpleger
Penyuruh
Yang disuruh
Penyuruh= full
Yang disuruh= tidak dipidana
Medepleger 
Semuanya 
Semuanya/bers ama-sama
Semuanya dikenai pidana= full
Uitlokking
Awalnya si pembujuk, akhirnya yang terbujuk
Yang terbujuk
Si pembujuk & yang dibujuk dipidana= full
Medepletigheid
Yang dibantu, si pembantu sebatas
membantu
Yang dibantu
Yang dibantu= full
Yang membantu/si pembantu= dikurang 1/3

Pertanggungjawaban (Pasal 55 (2)) :
- Hanya kepada perbuatan yang sengaja digerakkan saja (beserta akibatnya) yang dapat dipertanggung jawabkan kepada pengggerak
- Jika terjadi perbuatan yang diluar pikiran logis bukan sebagai akibat dari perbuatan yang digerakkan maka hanya menjadi tanggung jawab dari orang yang digerakkan

Upaya untuk menggerakkan orang lain diatur secara limitatif, yaitu:
Memberikan sesuatu
Orang yang digerakkan diberi sesuatu oleh orang yang menggerakkan. Sesuatu itu dapat berupa uang atau benda dan sebagainya (Arrest HARI 17 Juni 1940). Termasuk juga janji akan merawat/membiayai keluarga tergerak seandainya ia masuk penjara. 
Memberikan janji
Pemberian janji bukan hanya pemberian janji berupa uang atau benda, dapat pula janji berupa naik pangkat, jabatan, pekerjaan, dan sebagainya.
Menyalahgunakan kekuasaan
Yaitu Misalnya  orangtua terhadap anaknya, majikan terhadap buruhnya, guru terhadap muridnya, dan lain-lain.
Menyalahgunakan martabat
Daya upaya ini tidak terdapat dalam KUHP Belanda, hanya terdapat dalam KUHP Indonesia. Alasannya adalah di Indonesia dikenal masyarakat yang bersifat feodal. Misalnya Bupati, Kepala Desa, dan sebagainya dimana dikhawatirkan terjadi penyalahgunaan martabat mereka sebagaimana terdapat dalam susunan masyarakat di Indonesia.
Kekerasan
Kekerasan disini tidak boleh sedemikian rupa sehingga tidak dapat dielakkan oleh orang yang digerakkan. Karena apabila kekerasan tersebut tidak dapat terelakkan, maka akan terjadi bentuk daya paksa sehingga orang yang akan digerakkan tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Ancaman
Ancaman ini dapat berupa kata-kata atau perbuatan. Seperi halnya dalam kekerasan, upaya ancaman ini tidak boleh sedemikian keras sehingga tidak terelakkan oleh orang yang digerakkan. 
Penyesatan
Penyesatan sering  diartikan sebagai tipu daya. Bukan berarti orang ditipu dengan demikian tidak dapat dipidana, akan tetapi penyesatan tersebut sudah selayaknya disadari oleh orang yang digerakkan tersebut. Akibat yang ditimbulkan dari penyesatan ini adalah ketegangan dalam hati orang lain yang dapat berupa irihati, pembangkitan dendam, amarah, kebencian, dan lain-lain, sehingga ia cenderung melakukan tindakan tetapi dalam batas-batas bahwa ia sesungguhnya menurut menurut perhitungan yang layak masih dapat mengendalikan diri.
Memberi kesempatan
Misalnya seseorang tidak mengunci pintu rumah majikannya agar orang yang  dapat dengan mudah masuk rumah majikannya agar pencurian dapat dengan mudah dilakukan baik oleh orang yang melakukan pencurian maupun yang memberi kesempatan tidak mengunci pintu tersebut. 
Memberi sarana
Misalnya seseorang dengan memberi senjata agar orang tergerak untuk melakukan pembunuhan seperti kehendak orang yang memberikan senjata tersebut.
Memberi keterangan
Misalnya dengan memberikan keterangan tentang suasana rumah korban sehingga membuat orang tergerak untuk melakukan pencurian. 

Jenis-jenis penggerakan:
1.      Penggerakan yang berhasil (geslaagde uitlokking)
A     membujuk B untuk membunuh C, dan B membunuh C.
2.      Penggerakan yang hanya sampai pada taraf percobaan (uitlokking bij poging) à Pasal 163 bis
A     membujuk B untuk membunuh C, ternyata delik yang dilakukan oleh B hanya menggores tangan C saja. Dari sini kita bisa melihat bahwa B sudah tergerak, hanya saja delik yang dilakukan menjadi percobaan.
3.      Penggerakan yang gagal (mislukte uitlokking/poging tot uitlokking) à Pasal 163 bis
Pelaku sama sekali tidak tergerak melakukan Tindak Pidana
Mislukte uitlokking Æ A menggerakan B, ternyata B tidak tergerak
4.      Pergerakan tanpa akibat (zonder gecolg gevleven uitlokking) à Pasal 163 bis
Pelaku tadinya tergerak, namun pada akhirnya tidak berbuat apa-apa
A     membujuk B untuk membunuh C, namun dalam perjalanan B bertemu dengan D yaitu adik dari C yang mengatakan keluarganya sedang kesusahan, timbul rasa iba sehingga membuat B mengundurkan diri. 
A menggerakan B untuk membunuh C, ternyata B memperkosa C; tidak membunuh C.

Perbedaan Antara ’menggerakkan’ dengan ’menyuruh’
Orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana di dalam menyuruh melakukan merupakan orang yang perbuatannya tidak dapat dipertanggungjawabkan, sedangkan pada uitloken merupakan orang yang dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya.
Cara–cara yang dapat dipergunakan oleh seseorang yang menyuruh melakukan tidak diatur dalam undang-undang, sedangkan cara–cara yang dipergunakan dalam uitloken diatur secara limitatif dalam undang–undang.


Perbedaan Antara ’membantu’ dengan ’menggerakkan’
’penggerakkan’, kehendak untuk melakukan tindak pidana baru timbul setelah ada daya upaya dari orang yang menggerakkan 
’pembantuan’, dari sejak semula dalam diri pelaku sudah ada kehendak untuk melakukan tindak pidana, pembantu baru kemudian memberikan salah satu bantuan 
 Perbedaan Antara ’membantu’ dengan ’turut serta’
MEMBANTU
TURUT SERTA
dari awal tidak punya kepentingan mencapai tujuan
benar-benar dari awal ada kepentingan mencapai tujuan dari awal
Hanya perbuatan membantu
Perbuatannya merupakan pelaksanaan delik
Pembantu tidak berkepentingan atas hasil delik
Kepentingan bersama atas tercapainya delik
Tidak harus ada kerjasama yang disadari
Harus ada kerjasama yang disadari
Terhadap pelanggaran tindak pidana
Kejahatan maupun pelanggaran dapat dipidana

Hapusnya Hak Menuntut Pidana
Dalam KUHP:
1.    Tidak adanya pengaduan pada delik-delik aduan (Pasal  72-75 KUHP)
2.    Ne Bis in Idem (Pasal  76 KUHP)
3.    Matinya tersangka/terdakwa (Pasal  77 KUHP)
4.    Daluwarsa (Pasal  78-81 KUHP)
5.    Panyelesaian di luar sidang (Pasal  82 KUHP)

Diluar KUHP:
6.    Abolisi (Pasal  14 UUD 1945)
7.    Amnesti (Pasal  14 UUD 1945)

Ad.2 Ne Bis in Idem
Seseorang tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya berdasarakan suatu perbuatan; apabila terhadpa perbuatan tersebut telah ada putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap.
Terhadap satu perbuatan dilarang dituntut lebih dari sekali
Syarat Ne Bis in Idem:
Perbuatannya adalah satu  perbuatan tertentu
Orangnya adalah satu orang tertentu
Sudah ada putusan hakim berkekuatan hukum tetap

Ad.3 Matinya tersangka/terdakwa
Pada dasarnya pidana bersifat pribadi sehingga bila tersangka/ terdakwa mati, maka pidana itu tidak dapat diwariskan.

Ad.4 Daluwarsa
Tidak dapat lagi dilakukan penuntutan terhadap seseorang karena telah dialmpauinya jangka waktu tertentu untuk melakukan penuntutan (lihat Pasal  78 KUHP).

Tenggang waktu daluwarsa penuntutan:
Mulai dihitung sejak keesokan hari setelah perbuatan dilakukan, kecuali:
Pemalsuan atau perusakan uang
Pasal  328, 329, 330, 333 KUHP
Pasal  556-558 a KUHP
Hanya dapat dilakukan apabila:
Tindak pidananya adalah pelanggaran
Hanya diancam pidana denda

Ad.6 Abolisi
Hal untuk menyatakan bahwa tuntuan pidana terhadap seseorang harus digugurkan atau suatu tuntutan pidana yang telah dimulai harus dihentikan

Ad.7 Amnesti
Hak untuk mengeluarkan pernyataan umum bahwa UU pidana tidak akan menrbitkan akibatakibat hukum apapun juga bagi orang-orang tertentu yang bersalah melakukan suatu atau beberapa tindak pidana tertentu.

Menurut Utrecht:
Abolisi Æ mengugurkan/ menghentikan penuntutan.
Grasi Æ menghentikan penjalanan pidana.
Amnesti Æ  menghentikan penjalanan & penuntutan pidana.

Dalam KUHP:
1.            Matinya terpidana (Pasal  83 KUHP)
2.            Daluwarsa (Pasal  84, 85 KUHP) Diluar KUHP:
3.            Amnesti
4.            Grasi

Ad. 2 Daluwarsa
Tenggang waktu daluwarsa menjalankan pidana:
Untuk semua pelanggaran Æ 2 tahun
Untuk kejahatan percetakan Æ 5 tahun
Untuk kejahatan lainnya Æ daluwarsa penuntutan +1/3
Tidak ada daluwarsa untuk menjalankan pidana mati

Saat penghitungan tenggang daluwarsa:
1.    Mulai pada keesokan hari setelah putusan hakim tetap dan ada juga putusan hakim yang memerintahkan terdakwa untuk segera menjalani pidananya, walaupun terdakwa mengajukan upaya hukum biasa  (bandaing, kasasi).
2.    Pencegahan (stuiting)
Terpidana melarikan diri ketika menjalani pidana Æ tenggang waktu dihitung keesokan harinya setelah melarikan diri.
Pelepasan bersyarat dicabut Æ keesokan harinya setelah dicabut, mulai waktu daluwarsa baru.
3.    Penundaan (schorsing)
Penjalanan pidana ditunda menurut UU
Selama terpidana dirampas kemerdekaannya (ada dalam tahanan)
             
Ad.4 Grasi
Pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden. Kenapa ada orang yang tidak mau diberikan grasi? Karena dengan menerima grasi otomatis ia mengakui kesalahannya.

Ulangan 31:6 "Kuatkan dan teguhkanlah hatimu, janganlah takut dan jangan gemetar karena mereka, sebab TUHAN, Allahmu, Dialah yang berjalan menyertai engkau; Ia tidak akan membiarkan engkau dan tidak akan meninggalkan engkau."

No comments:

Post a Comment