Sampai sejauh ini beberapa penelitian sejarah menemukan bahwa pidana mati telah digunakan pada abad 18 Sebelum Masehi (SM) dalam hukum yang diberlakukan oleh Raja Hammurabi dari Babilonia, terdapat 25 kasus kejahatan yang dijatuhi pidana mati. Pada abad 14 SM hingga 5 SM, pidana mati juga diberlakukan di Athnea (Dracodian Code) dan Kerajaan Romawi (Twelve Tablet). Pidana mati tersebut dilakukan dengan berbagai cara yang cukup keji dalam pandangan modern seperti; penyaliban, penenggelaman, penyiksaan hingga tewas, dibakar, dan lain-lain.
Pada abad ke-10, hukuman mati dengan cara digantung menjadi metode yang digunakan di dataran Inggris. Pada abad berikutnya, Raja William tidak mengizinkan hukuman mati kecuali dalam kondisi perang. Akan tetapi, pada abad ke-16 kondisi ini kemudian berbalik. Dibawah rezim Raja Henry ke-16, diperkirakan sekitar 72 ribu orang dihukum dengan cara direbus (dimasak), dibakar, digantung, dipenggal, dipisahkan anggota tubuhnya dengan cara ditarik dan lain-lain. Hukuman ini dijatuhkan dengan alasan pelanggaran hukum seperti menikahi orang Yahudi, tidak mengakui kejahatannya, dan pengkhianatan.[1]
Implementasi hukuman mati pada zaman modern ini sudah mulai ditinggalkan oleh banyak negara dengan mengedepankan prinsip hak asasi manusia, yaitu hak untuk hidup. Namun ternyata masih ada negara yang belum sepenuhnya meninggalkan hukuman mati. Pada dasarnya, hukum internasional sendiri tidak setuju dengan pelaksanaan hukuman mati diterapkan di suatu negara. Namun konvensi-konvensi yang ada hanya bisa menganjurkan moratorium atau pengabolisian hukuman mati itu sendiri. Atas dasar nilai-nilai yang ada dalam masyarakatnya, beberapa negara masih menerapkan hukuman mati. Untuk tetap mengontrol dan memastikan pelaksanaannya sesuai dengan asas kemanusiaan, Persatuan Bangsa-Bangsa atau PBB mengeluarkan berbagai konvensi internasional yang mengatur pelaksanaan hukuman mati seperti jenis delik apa yang dapat dijatuhkan hukuman mati.
Pengaturan internasional yang paling terkait dengan aspek hukuman mati ini ada di International Convenant on Civil and Political Rights (ICCPR) tepatnya pada Pasal 6:
1. Every human being has the inherent right to life. This right shall be protected by law. No one shall be arbitrarily deprived of his life.
2. In countries which have not abolished the death penalty, sentence of death may be imposed only for the most serious crimes in accordance with the law in force at the time of the commission of the crime and not contrary to the provisions of the present Covenant and to the Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide. This penalty can only be carried out pursuant to a final judgement rendered by a competent court.
3. When deprivation of life constitutes the crime of genocide, it is understood that nothing in this article shall authorize any State Party to the present Covenant to derogate in any way from any obligation assumed under the provisions of the Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide.
4. Anyone sentenced to death shall have the right to seek pardon or commutation of the sentence. Amnesty, pardon or commutation of the sentence of death may be granted in all cases.
5. Sentence of death shall not be imposed for crimes committed by persons below eighteen years of age and shall not be carried out on pregnant women.
6. Nothing in this article shall be invoked to delay or to prevent the abolition of capital punishment by any State Party to the present Covenant
Konvensi ini memberikan batasan-batasan tertentu dalam pelaksanaan hukuman mati bagi negara-negara yang masih menerapkan hukuman mati. Contoh pembatasannya adalah larangan untuk melakukan hukuman mati terhadap wanita yang sedang hamil dan diperbolehkannya hukuman mati hanya untuk tindak pidana paling serius (the most serious crimes) seperti genosida dan pelanggaran HAM berat.
Baru baru ini mencuat isu mengenai eksekusi hukuman mati bagi beberapa terpidana mati yang tersangkut kasus pengedaran narkotika. Akibat mencuatnya isu ini, berbagai pihak mulai mengambil sikap. Tidak hanya dalam lingkup dalam negeri tetapi juga manca negara terutama negara-negara yang beberapa warga negaranya ditetapkan sebagai terpidana mati di Indonesia seperti Australia dan Brasil.
Dalam dunia internasional, banyak pihak yang mengecam penjatuhan hukuman mati dalam pemidanaan di Indonesia. Mereka yang mengecam berpendapat bahwa kejahatan narkotika yang diancamkan hukuman mati di Indonesia bukanlah kejahatan yang dapat dikategorikan sebagai the most serious crime. Hal ini akhirnya memberi kesan seakan pemerintah Indonesia telah melanggar batasan-batasan yang diberikan melalui ICCPR yang sudah diratifikasi dengan UU No. 12 Tahun 2005.
Frasa the most serious crime tidak hanya ada dalam ICCPR tetapi dapat ditemukan dalam dokumen hukum internasional yang lain seperti optional protocol II ICCPR. Penafsiran mengenai the most serious crime inilah yang pada akhirnya memicu perdebatan di kemudian hari terutama dalam penerapannya di Indonesia. Ada yang menganggap bahwa the most serious crime yang dimaksud adalah kejahatan serius yang diakui secara universal oleh semua negara, ada pula yang menafsirkannya sebagai kejahatan serius yang dianggap oleh negara yang bersangkutan saja.
Sementara itu Victor Rodriguez (Komite HAM PBB) mengatakan bahwa kasus terorisme dan pelanggaran HAM merupakan kejahatan serius dibandingkan kasus narkotika. Ia bahkan menyatakan bahwa kasus narkotika tidak seharusnya diberikan hukuman mati.
Jika benar bahwa the most serious crime yang dimaksud adalah hanya terbatas pada kejahatan serius yang diakui secara universal oleh semua negara, maka penjatuhan hukuman mati pada terpidana kasus narkotika merupakan hal yang bertentangan dengan norma internasional. Hal ini mengindikasikan bahwa Indonesia telah tidak konsisten dalam menjalankan konvensi internasional yang telah diratifikasinya dan menentang kesepakatan internasional yang telah ada.
Pengaturan mengenai tindak pidana narkotika di Indonesia ada dalam UU No. 22 Tahun 1997 yang kemudian diganti dengan UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Berbagai pelanggaran terhadap norma yang diatur dalam undang-undang tersebut diancamkan hukuman mati. Pemerintah Indonesia mengklaim bahwa tindak pidana narkotika ini termasuk dalam the most serious crime karena akibat yang disebabkan ke rakyat Indonesia telah begitu dahsyat.
Data yang dirilis pemerintah menyebutkan pada 2013 terdapat 4,5 juta orang yang menyalahgunakan narkoba dan jumlah tersebut diprediksi melonjak menjadi 5,8 juta orang. Setiap hari diperkirakan 40 orang sampai 50 orang di Indonesia meninggal karena penyalahgunaan narkoba. Selain itu, setiap hari diperkirakan 5 ton narkoba dikonsumsi dan Indonesia kini menjadi target pasar produsen narkoba, setelah Kolombia dan Meksiko. Nilai transaksi narkoba pun mencengangkan, yakni mencapai Rp 47,3 triliun per tahun.[2] Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa saat ini Indonesia sedang berada pada status darurat narkoba Di Indonesia, setiap tahunnya jumlah korban yang meninggal akiba mengkonsumsi obat terlarang itu terus bertumbuh hingga mencapai angka 18.000. Tidak heran, pemerintah indonesia begitu menggalakkan pemberantasan tindak pidana narkotika di negaranya.
Tindakan pemerintah indonesia ini juga diperkuat dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUU-V/2007 yang menolak permohonan Judicial Review yang diajukan oleh para ekspatriat asal Australia yang tersangkut kasus Bali Nine. Alasan pertimbangan putusan salah satunya karena Indonesia telah terikat dengan Konvensi Tunggal PBB tahun 1961 tentang Narkoba (Single Convention On Narcotic Drugs by United Nations in 1961)yang telah diratifikasi menjadi hukum nasional dalam UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Sehingga, menurut putusan MK, Indonesia justru berkewajiban menjaga dari ancaman jaringan peredaran gelap narkotika skala internasional, yang salah satunya dengan menerapkan hukuman yang efektif dan maksimal. Dalam konvensi itu, Indonesia telah mengakui kejahatan narkotika sebagai kejahatan luar biasa serius terhadap kemanusiaan (extra ordinary) sehingga penegakannya butuh perlakuan khusus, efektif dan maksimal. Salah satu perlakuan khusus itu, menurut MK, antara lain dengan cara menerapkan hukuman berat yakni pidana mati.[3]
Dengan kecaman dan ancaman yang ada, pemerintah indonesia menjawab bahwa negara lain harus menghormati kedaulatan hukum positif Indonesia. Hukum yang dibuat oleh negara, sejatinya juga merupakan bagian dari konsensus masyarakat melalui dewan perwakilannya untuk menjaga ketertiban dan keteraturan dalam kehidupannya sebagai warga negara Indonesia. Sehingga sudah sepatutnya negara lain menghormati bagaimana sebuah negara menjaga ketertiban dan keteraturannya.
Maka, penilaian terhadap penjatuhan hukuman mati pada terpidana kasus narkotika tergantung dari sudut mana permasalahan ini dilihat. Ditinjau dari positivisme hukum internasional yang ada, Indonesia telah dianggap tidak mengindahkan ICCPR yang membatasi pengeksekusian hukuman mati hanya pada kasus genosida dan pelanggaran HAM berat dengan mengeksekusi terpidana mati kasus narkotika. Sedangkan apabila ditinjau dari positivisme hukum nasional yang ada, penjatuhan hukuman mati terpidana narkotika di Indonesia telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bukankah hukum akan selalu subjektif?
Pada abad ke-10, hukuman mati dengan cara digantung menjadi metode yang digunakan di dataran Inggris. Pada abad berikutnya, Raja William tidak mengizinkan hukuman mati kecuali dalam kondisi perang. Akan tetapi, pada abad ke-16 kondisi ini kemudian berbalik. Dibawah rezim Raja Henry ke-16, diperkirakan sekitar 72 ribu orang dihukum dengan cara direbus (dimasak), dibakar, digantung, dipenggal, dipisahkan anggota tubuhnya dengan cara ditarik dan lain-lain. Hukuman ini dijatuhkan dengan alasan pelanggaran hukum seperti menikahi orang Yahudi, tidak mengakui kejahatannya, dan pengkhianatan.[1]
Implementasi hukuman mati pada zaman modern ini sudah mulai ditinggalkan oleh banyak negara dengan mengedepankan prinsip hak asasi manusia, yaitu hak untuk hidup. Namun ternyata masih ada negara yang belum sepenuhnya meninggalkan hukuman mati. Pada dasarnya, hukum internasional sendiri tidak setuju dengan pelaksanaan hukuman mati diterapkan di suatu negara. Namun konvensi-konvensi yang ada hanya bisa menganjurkan moratorium atau pengabolisian hukuman mati itu sendiri. Atas dasar nilai-nilai yang ada dalam masyarakatnya, beberapa negara masih menerapkan hukuman mati. Untuk tetap mengontrol dan memastikan pelaksanaannya sesuai dengan asas kemanusiaan, Persatuan Bangsa-Bangsa atau PBB mengeluarkan berbagai konvensi internasional yang mengatur pelaksanaan hukuman mati seperti jenis delik apa yang dapat dijatuhkan hukuman mati.
Pengaturan internasional yang paling terkait dengan aspek hukuman mati ini ada di International Convenant on Civil and Political Rights (ICCPR) tepatnya pada Pasal 6:
1. Every human being has the inherent right to life. This right shall be protected by law. No one shall be arbitrarily deprived of his life.
2. In countries which have not abolished the death penalty, sentence of death may be imposed only for the most serious crimes in accordance with the law in force at the time of the commission of the crime and not contrary to the provisions of the present Covenant and to the Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide. This penalty can only be carried out pursuant to a final judgement rendered by a competent court.
3. When deprivation of life constitutes the crime of genocide, it is understood that nothing in this article shall authorize any State Party to the present Covenant to derogate in any way from any obligation assumed under the provisions of the Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide.
4. Anyone sentenced to death shall have the right to seek pardon or commutation of the sentence. Amnesty, pardon or commutation of the sentence of death may be granted in all cases.
5. Sentence of death shall not be imposed for crimes committed by persons below eighteen years of age and shall not be carried out on pregnant women.
6. Nothing in this article shall be invoked to delay or to prevent the abolition of capital punishment by any State Party to the present Covenant
Konvensi ini memberikan batasan-batasan tertentu dalam pelaksanaan hukuman mati bagi negara-negara yang masih menerapkan hukuman mati. Contoh pembatasannya adalah larangan untuk melakukan hukuman mati terhadap wanita yang sedang hamil dan diperbolehkannya hukuman mati hanya untuk tindak pidana paling serius (the most serious crimes) seperti genosida dan pelanggaran HAM berat.
Baru baru ini mencuat isu mengenai eksekusi hukuman mati bagi beberapa terpidana mati yang tersangkut kasus pengedaran narkotika. Akibat mencuatnya isu ini, berbagai pihak mulai mengambil sikap. Tidak hanya dalam lingkup dalam negeri tetapi juga manca negara terutama negara-negara yang beberapa warga negaranya ditetapkan sebagai terpidana mati di Indonesia seperti Australia dan Brasil.
Dalam dunia internasional, banyak pihak yang mengecam penjatuhan hukuman mati dalam pemidanaan di Indonesia. Mereka yang mengecam berpendapat bahwa kejahatan narkotika yang diancamkan hukuman mati di Indonesia bukanlah kejahatan yang dapat dikategorikan sebagai the most serious crime. Hal ini akhirnya memberi kesan seakan pemerintah Indonesia telah melanggar batasan-batasan yang diberikan melalui ICCPR yang sudah diratifikasi dengan UU No. 12 Tahun 2005.
Frasa the most serious crime tidak hanya ada dalam ICCPR tetapi dapat ditemukan dalam dokumen hukum internasional yang lain seperti optional protocol II ICCPR. Penafsiran mengenai the most serious crime inilah yang pada akhirnya memicu perdebatan di kemudian hari terutama dalam penerapannya di Indonesia. Ada yang menganggap bahwa the most serious crime yang dimaksud adalah kejahatan serius yang diakui secara universal oleh semua negara, ada pula yang menafsirkannya sebagai kejahatan serius yang dianggap oleh negara yang bersangkutan saja.
Sementara itu Victor Rodriguez (Komite HAM PBB) mengatakan bahwa kasus terorisme dan pelanggaran HAM merupakan kejahatan serius dibandingkan kasus narkotika. Ia bahkan menyatakan bahwa kasus narkotika tidak seharusnya diberikan hukuman mati.
Jika benar bahwa the most serious crime yang dimaksud adalah hanya terbatas pada kejahatan serius yang diakui secara universal oleh semua negara, maka penjatuhan hukuman mati pada terpidana kasus narkotika merupakan hal yang bertentangan dengan norma internasional. Hal ini mengindikasikan bahwa Indonesia telah tidak konsisten dalam menjalankan konvensi internasional yang telah diratifikasinya dan menentang kesepakatan internasional yang telah ada.
Pengaturan mengenai tindak pidana narkotika di Indonesia ada dalam UU No. 22 Tahun 1997 yang kemudian diganti dengan UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Berbagai pelanggaran terhadap norma yang diatur dalam undang-undang tersebut diancamkan hukuman mati. Pemerintah Indonesia mengklaim bahwa tindak pidana narkotika ini termasuk dalam the most serious crime karena akibat yang disebabkan ke rakyat Indonesia telah begitu dahsyat.
Data yang dirilis pemerintah menyebutkan pada 2013 terdapat 4,5 juta orang yang menyalahgunakan narkoba dan jumlah tersebut diprediksi melonjak menjadi 5,8 juta orang. Setiap hari diperkirakan 40 orang sampai 50 orang di Indonesia meninggal karena penyalahgunaan narkoba. Selain itu, setiap hari diperkirakan 5 ton narkoba dikonsumsi dan Indonesia kini menjadi target pasar produsen narkoba, setelah Kolombia dan Meksiko. Nilai transaksi narkoba pun mencengangkan, yakni mencapai Rp 47,3 triliun per tahun.[2] Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa saat ini Indonesia sedang berada pada status darurat narkoba Di Indonesia, setiap tahunnya jumlah korban yang meninggal akiba mengkonsumsi obat terlarang itu terus bertumbuh hingga mencapai angka 18.000. Tidak heran, pemerintah indonesia begitu menggalakkan pemberantasan tindak pidana narkotika di negaranya.
Tindakan pemerintah indonesia ini juga diperkuat dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUU-V/2007 yang menolak permohonan Judicial Review yang diajukan oleh para ekspatriat asal Australia yang tersangkut kasus Bali Nine. Alasan pertimbangan putusan salah satunya karena Indonesia telah terikat dengan Konvensi Tunggal PBB tahun 1961 tentang Narkoba (Single Convention On Narcotic Drugs by United Nations in 1961)yang telah diratifikasi menjadi hukum nasional dalam UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Sehingga, menurut putusan MK, Indonesia justru berkewajiban menjaga dari ancaman jaringan peredaran gelap narkotika skala internasional, yang salah satunya dengan menerapkan hukuman yang efektif dan maksimal. Dalam konvensi itu, Indonesia telah mengakui kejahatan narkotika sebagai kejahatan luar biasa serius terhadap kemanusiaan (extra ordinary) sehingga penegakannya butuh perlakuan khusus, efektif dan maksimal. Salah satu perlakuan khusus itu, menurut MK, antara lain dengan cara menerapkan hukuman berat yakni pidana mati.[3]
Dengan kecaman dan ancaman yang ada, pemerintah indonesia menjawab bahwa negara lain harus menghormati kedaulatan hukum positif Indonesia. Hukum yang dibuat oleh negara, sejatinya juga merupakan bagian dari konsensus masyarakat melalui dewan perwakilannya untuk menjaga ketertiban dan keteraturan dalam kehidupannya sebagai warga negara Indonesia. Sehingga sudah sepatutnya negara lain menghormati bagaimana sebuah negara menjaga ketertiban dan keteraturannya.
Maka, penilaian terhadap penjatuhan hukuman mati pada terpidana kasus narkotika tergantung dari sudut mana permasalahan ini dilihat. Ditinjau dari positivisme hukum internasional yang ada, Indonesia telah dianggap tidak mengindahkan ICCPR yang membatasi pengeksekusian hukuman mati hanya pada kasus genosida dan pelanggaran HAM berat dengan mengeksekusi terpidana mati kasus narkotika. Sedangkan apabila ditinjau dari positivisme hukum nasional yang ada, penjatuhan hukuman mati terpidana narkotika di Indonesia telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bukankah hukum akan selalu subjektif?
SUMBER :
[2] http://sp.beritasatu.com/tajukrencana/narkoba-kejahatan-kemanusiaan/75688, diakses pada 3 Maret 2015
[3] http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol17888/terikat-konvensi-internasional-hukuman-mati-mesti-jalan-terus, diakses pada 4 Maret 2015
No comments:
Post a Comment