Kebudayaan menurut Prof.Dr. Koentjaraningrat dalam bukunya Pengantar Antropologi I
(1996:72) adalah seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang
dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang dijadikan miliknya dengan
belajar. Dengan demikian hampir semua tindakan manusia adalah “kebudayaan”, karena
jumlah tindakan yang dilakukannya dalam kehidupan bermasyarakat yang tidak
dibiasakannya dengan belajar (naluri, refleks, tindakan akibat proses
fisiologi, tindakan membabi-buta), sangat terbatas. Bahkan tindakan yang
bersifat naluri (makan, minum, berjalan) juga telah banyak dirombak oleh
manusia sehingga menjadi tindakan kebudayaan. Manusia makan pada waktu tertentu
dengan cara tertentu, sesuai dengan kebudayaan masing-masing. Demikian juga
cara berjalan, berbeda antara orang kebanyakan dengan cara berjalan prajurit
militer atau peragawati, inipun sebagai tindakan kebudayaan yang dibiasakan
dengan belajar.
Kebudayaan (culture),
perlu dibedakan dengan peradaban (civilization).
Peradaban adalah istilah yang dipakai untuk menyebut bagian-bagian/unsur-unsur
dari kebudayaan yang sifatnya halus,
maju dan indah, seperti kesenian, ilmu pengetahuan, adat sopan-santun dan
pergaulan, kepandaian menulis, organisasi bernegara dan lain-lain. Istilah
peradaban juga sering dipakai untuk menyebut bagian kebudayaan seperti
teknologi, ilmu pengetahuan, seni bangunan, seni rupa, masyarakat kota yang
maju dan kompleks.
Wujud
Kebudayaan
Wujud kebudayaan, menurut Prof Koentjaraningrat (1996: 56)
digambarkan dalam 4 lingkaran konsentris yaitu :
1.
Lingkaran inti adalah nilai-nilai
budaya (sistem ideologis)
2.
Lingkaran kedua dari dalam adalah
sistem budaya (sistem gagasan)
3.
Lingkaran ketiga adalah sistem sosial
(sistem tingkah laku)
4.
Lingkaran keempat adalah kebudayaan
fisik (benda-benda fisik).
Contoh
dari wujud konkret kebudayaan (lingkaran/wujud keempat) antara lain
bangunan-bangunan megah, benda-benda bergerak, dan semua benda hasil karya
manusia yang bersifat konkrit dan dapat diraba serta difoto. Wujud
ketiga/sistem tingkah laku, meliputi menari, berbicara, tingkah laku melakukan
pekerjaan, semua gerak-gerik dan dari hari ke hari, merupakan pola-pola tingkah
laku yang dilakukan berdasarkan sistem sosial.Wujud ketiga ini masih bisa
dipotret dan konkret.
Sedangkan
wujud kedua/ sistem gagasan, tempatnya pada kepala tiap individu warga kebudayaan. Wujud kedua ini bersifat
abstrak, tak dapat difoto, dan hanya dipahami (oleh warga kebudayaan lain)
setelah ia mempelajari melalui wawancara atau dengan membaca apa yang dia
tulis. Berikutnya wujud pertama/ sistem ideologis, adalah gagasan-gagasan yang
telah dipelajari oleh para warga sejak usia dini, dan karenanya sukar diubah,
disebut juga “nilai-nilai budaya” yang menentukan sifat dan corak pikiran, cara
berpikir serta tingkah laku manusia suatu kebudayaan
Hubungan
Hukum Dengan Kebudayaan
Dalam
AH, hukum ditinjau sebagai aspek dari kebudayaan. Manusia dalam hidup
bermasyarakat telah dibekali untuk berlaku dengan menjunjung tingi nilai-nilai
budaya tertentu. Nilai-nilai budaya, yang oleh orang dalam masyarakat tertentu
harus dijunjung tinggi, belum tentu dianggap penting oleh warga masyarakat
lain. Nilai-nilai budaya tercakup secara lebih konkret dalam norma-norma
sosial, yang diajarkan kepada setiap warga masyarakat supaya dapat menjadi
pedoman berlaku pada waktu melakukan berbagai peranan dalam berbagai situasi
sosial.
Norma-norma
sosial sebagian tergabung dalam kaitan dengan norma lain, dan menjelma sebagai
pranata atau lembaga sosial yang semuanya lebih mempermudah manusia mewujudkan
perilaku yang sesuai dengan tuntutan masyarakatnya atau yang sesuai dengan
gambaran ideal mengenai cara hidup yang dianut dalam kelompoknya. Gambaran
ideal atau desain hidup atau cetak biru, yang merupakan kebudayaan dari
masyarakat itu hendak dilestarikan melalui cara hidup warga masyarakat, dan
salah satu cara untuk mendorong para anggota masyarakat supaya melestarikan
kebudayaan itu adalah hukum.
Contoh
untuk menjelaskan hubungan hukum dan kebudayaan akan diberikan contoh mengenai
hubungan kekerabatan dalam sistem kekerabatan di Bali. Menurut kebudayaan Bali,
perhitungan garis keturunan adalah suatu hal yang sangat penting. Nilai
utamanya adalah gagasan bahwa anak laki-laki diakui sebagai pengubung dalam
garis keturunan. Hal ini menghasilkan norma sosial, yaitu seseorang mempertimbangkan
garis keturunannya melalui ayah sehingga dapat dikonstruksikan (secara1
konseptual) suatu garis keturunan yang berkesinambungan, yang menghubungkan
para laki-laki sebagai penghubung-penghubung garis keturunan. Norma sosial
mengenai garis keturunan itu berhubungan dengan norma sosial lainnya dalam
kaitan dengan pengaturan soal-soal yang
berkenaan dengan kekerabatan, seperti norma sosial bahwa seseorang istri harus
mengikuti suami ke tempat tinggal kerabat dari suaminya (patrilokal), norma
sosial yang lain, harta dari seorang ayah diwariskan pada anaknya yang
laki-laki. Norma sosial ini semuanya
bergabung menjadi suau lembaga
atau pranata sosial, yaitu pranata atau lembaga keluarga. Pranata ini
diikuti sebagai pedoman berlaku oleh semua anggota masyarakat, bila ada anggota
masyarakat tidak mengindahkan norma sosial itu, maka ini berarti nilai budaya
yang mendasarinya diingkari, dan jika pelanggaran itu sering terjadi, maka
nilai budaya yang mendasarinya, lama-lama akan memudar dan terancam hilang.
Sebagian
dari norma sosial itu kalau dilanggar akan memperoleh sanksi yang konkret yang
dikenakan oleh petugas hukum atau wakil-wakil rakyat yang diberi wewenang untuk
itu. Sebagai contoh, ada seorang istri
di Bali tidak mau mengikuti suami ke tempat tinggal kerabatnya, maka ia akan
dikenakan sanksi yaitu diceraikan. Jadi sebagian dari nilai-nilai budaya yang
tercermin dalam norma sosial juga dimasukkan ke dalam peraturan hukum, dan
karena perlindungannya terjadi melalui proses hukum, maka usaha mencegah
pelanggarannya dengan sanksi hukum, dibandingkan dengan norma sosial yang
merupakan kebiasaan saja.
No comments:
Post a Comment