Thursday, 8 January 2015

Polemik akan Makna dari Deponering

Deponering dikenal sebagai upaya pembekuan perkara. Artinya suatu kasus dihentikan/ditutup selamanya meski ada pergantian rezim. Deponering merupakan mekanisme yang dimiliki oleh Kejaksaan Agung untuk mengesampingkan perkara pidana demi kepentingan umum. Jaksa agung menghentikan penyelidikan dengan alasan untuk keselamatan negara.

Yang cukup menarik dari bahasan ini adalah tidak ditemukannya padanan mengenai asal kata deponering. Yang cukup mengejutkan adalah adanya sebuah artikel yang menyebutkan bahwa deponering sesungguhnya bukanlah istilah yang tepat untuk upaya ini, berikut artikel yang diunduh dari detiknews.com:

"Den Haag - Pemilihan kata deponering untuk definisi penghentian perkara adalah salah dan sesat. Yang mengejutkan, dari guru besar, praktisi hukum, sampai wartawan memakai kata deponering yang salah itu. Bahkan terminologi sesat ini masuk dalam laporan resmi Tim 8!

Deponering bentuk kata benda dari deponeren, menurut definisi dalam bahasa aslinya di Negeri Belanda artinya menyerahkan, melaporkan, mendaftarkan. Ini bisa ditemukan dalam hukum dagang, administrasi maupun perpajakan. Het bedrijf wilde zijn merknaam deponeren (Perusahaan itu ingin mendaftarkan nama merknya). Gedeponeerde merk = merk terdaftar. Proses penyerahan, pelaporan atau pendaftarannya disebut deponering. Deponeren jaarstukken = laporan tahunan. Dalam bahasa sehari-hari deponeren bisa bermakna membuang. Jij kun je afval in deze ton deponeren (Kamu bisa membuang sampahmu di tong ini).

Sedangkan menghentikan atau menyampingkan perkara seperti dimaksudkan para ahli hukum di tanah air adalah bukan deponering, melainkan seponering, bentuk kata benda dari seponeren. Seponeren artinya terzijde leggen (menyampingkan), niet vervolgen (tidak menuntut). Terminologi ini hanya dikenal dalam hukum pidana sebagaimana diatur dalam Het Nederlands Strafprocesrecht (KUHAP Belanda). Definisinya, menyampingkan atau tidak melanjutkan penuntutan terhadap tersangka karena pertimbangan azas oportunitas atau karena tidak cukup bukti untuk dibawa ke pengadilan. Het Openbaar Ministerie heeft de zaak tegen een brandweercommandant geseponeerd (Kejagung telah menyampingkan perkara terhadap komandan pemadam kebakaran).

Sinonim dari seponeren adalah sepot. Penghentian penuntutan karena dianggap tidak perlu (pertimbangan azas oportunitas) disebut dengan beleidssepot (penghentian secara kebijakan), sedangkan penghentian karena tidak cukup bukti disebut dengan technisch sepot (penghentian secara teknis). Kewenangan atas seponeren atau sepot ini menurut strafprocesrecht ada di tangan kepolisian dan kejaksaan. Bagaimana urusan seperti ini sampai harus presiden yang memutuskan dan para ahli hukum dari praktisi sampai guru besar bisa salah dalam terminologi mendasar ini?

Catatan lima alinea ini meninggalkan hipotesis bahwa mungkin salah satu pemicu kesemrawutan penerapan dan penegakan hukum di Indonesia karena kelemahan dalam memahami teks bahasa Belanda yang diwarisi, sehingga akhirnya tersesat. Perhatikan sikap presiden, yang tidak mau menindak pejabat Polri dan Kejagung, dengan dalih tidak mau mencampuri proses hukum. Di Negeri Belanda, proses hukum yang tidak bisa dicampuri oleh siapapun adalah pengadilan. Mendagri dalam situasi khusus bisa memanfaatkan kewenangannya untuk menindak pejabat penyidik. Kewenangan ini untuk mencegah jangan sampai kejagung dan polisi dikendalikan cukong. Selanjutnya Mendagri mempertanggungjawabkan kebijakannya secara politik di depan parlemen. Setahu saya juga bahwa Kejagung dan Kapolri dalam organogram berada di bawah presiden, bukan yustisi. Dengan sikap presiden itu sempurnalah sudah tengara kesesatan, beserta segala akibatnya.”

Tentu apapun bahasanya, deponering telah dikenal oleh publik sebagai sebuah tindakan penghentian penuntutan yang dikeluarkan oleh MA, karena penuntutan yang dilakukan dianggap dapat mengganggu stabilitas negara (layaknya abolisi).

Tetapi dari artikel tersebut tentu keabsahan deponering sebagai sebuah istilah hukum di Indonesia perlu dipertanyakan lagi.

No comments:

Post a Comment