Wednesday, 7 January 2015

MENGUPAS KEKURANGAN SISTEM PRESIDENSIL DI INDONESIA

Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan Undang-undang Dasar 1945 sering dikatakan menganut sistem presidensiil, akan tetapi sifatnya tidak murni, karena bercampur baur dengan elemen-elemen sistem parlementer. Namun dengan empat perubahan pertama Undang-undang Dasar 1945, khususnya dengan diadopsinya sistem pemilihan presiden secara langsung, dan dilakukannya perubahan struktural maupun fungsional terhadap kelembagaan MPR, maka sistem pemerintahannya menjadi makin tegas menjadi sistem pemerintahan presidensiil murni. Dalam sistem presidensiil yang murni, tidak perlu lagi dipersoalkan mengenai pembedaan atau pemisahan antara fungsi kepala negara dan kepala pemerintahan, karena dalam pemerintahan presidensiil murni cukup memiliki presiden dan wakil presiden saja tanpa mempersoalkan kapan ia berfungsi sebagai kepala negara dan kapan sebagai kepala pemerintahan.

Di negara dengan tingkat keanekaragaman penduduknya yang luas seperti Indonesia, sistem presidensiil ini efektif untuk menjamin sistem pemerintahan yang kuat dan efektif. Namun seringkali, karena kuatnya otoritas yang dimilikinya, timbul persoalan berkenaan dengan dinamika demokrasi. Oleh karena itu, dalam perubahan Undang-undang Dasar 1945, kelemahan sistem presidensiil seperti kecenderungan terlalu kuatnya otoritas dan konsentrasi kekuasaan di tangan presiden, diusahakan untuk dibatasi. Misalnya, Pasal 14 ayat (1) Amandemen Undang-undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa “Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan MA” dan “Presiden memberikan amnesty dan abolisi dengan mempertimbangkan DPR”. Hal ini bertujuan agar hak preogratif presiden dibatasi dan tidak lagi bersifat mutlak.

Perubahan aturan mengenai hak prerogatif yudikatif Presiden itu memang memberikan pembatasan tersendiri bagi Presiden agar tidak dengan mutlak menggunakan kekuatan hukumnya untuk diberikan berdasarkan kepentingan politiknya saja. Misalnya seperti yang terjadi pada penahanan dan pembebasan napol/tapol pada era orde baru dan orde lama.

Pada kasus kekinian yang sangat menyita perhatian masyarakat, wacana penggunaan hak-hak prerogatif Presiden kembali menguak seiring terbukanya kasus kriminalisasi petinggi KPK. Namun apa daya pada akhirnya Presiden tidak mengambil salah satu dari hak yudikatifnya sebagai upaya meluruskan proses hukum yang terjadi, karena UUD 1945 memang tidak memperbolehkannya campur tangan dalam proses hukum tanpa melalui pertimbangan MA dan DPR. Walaupun publik mengetahui dan dapat menilai bahwa dalam kasus itu, Mahkamah Agung (walau tidak secara institusi) juga terlibat.

Dari gambaran itulah kemudian, kita sebenarnya dapat menganalisa lebih jauh lagi mengenai efektivitas Pasal 14 UUD 1945 yang telah diamandemen, karena lebih membutuhkan waktu yang lama dalam prosesnya. Berdasarkan sejarah, upaya Presiden dalam ikut dalam penyelesaian suatu kasus melalui hak-haknya bukanlah hal yang asing dalam kehidupan bernegara Indonesia. Dalam hal pemberian grasi misalnya, sesungguhnya bukanlah hal baru di Indonesia mengingat pada masa Orde Baru sering diberikan grasi, termasuk perubahan status terpidana mati menjadi seumur hidup, pernah diberikan kepada Soebandrio dan Omar Dhani. Demikian pula terhadap sembilan terpidana lain (1980), setelah itu, tidak kurang dari 101 permohonan grasi diberikan oleh presiden Soeharto. Tentu saja hal ini bukanlah jumlah yang sedikit, mengingat kekuasaan Orde Baru telah bertengger selama 32 tahun.

Di masa reformasi, masalah grasi juga sempat menjadi sesuatu yang menarik perhatian, dimana ketika itu Presiden Megawati Soekarnoputri menolak memberikan grasi kepada enam terpidana mati. Mereka adalah lima orang terlibat pembunuhan, dan satu orang dalam kasus narkoba.

Selain itu, dalam memberikan amnesti dan abolisi, Presiden sedikitnya telah 3 kali menggunakannya dan kemudian menjadi polemik di masyarakat, yakni terhadap para aktivis PRRI/Permesta, DI/TII, dan yang terbaru, GAM. Pemberian amnesti dan abolisi ini menjadi polemik karena dikhawatirkan mereka akan kembali berkhianat dan berbuat makar kembali. Tetapi hal ini mungkin dapat dieliminir dengan adanya pernyataan berjanji setia kembali kepada NKRI.

Yang paling menarik perhatian ialah adanya deponering. Dimana deponering ialah wewenang Jaksa Agung untuk menghentikan penuntutan karena penuntutan yang dilakukan dianggap dapat mengganggu stabilitas pemerintahan. Wewenang ini sedikit banyak bertabrakan dengan hak abolisi milik Presiden, serta SKPP (Surat Keputusan Penghentian Penuntutan) yang juga milik Jaksa Agung. Artinya adanya deponering bisa jadi merupakan penghamburan karena dapat terjadi dua tindakan yang sama dengan berbeda proses dan aturan. Selain itu juga, deponering secara istilah masih dipertanyakan karena ternyata kata deponering itu sendiri tidaklah mengacu pada pengabaian proses hukum.

No comments:

Post a Comment