Wednesday, 7 January 2015

PENGERTIAN GRASI DAN REHABILITASI

GRASI

Grasi merupakan upaya hukum istimewa, yang dapat dilakukan atas suatu putusan pengadilan yang telah memiliki keuatan hukum yang tetap, termasuk putusan Mahkamah Agung. Istilah grasi berasal dari kata “gratie” dalam bahasa Belanda atau “granted” dalam bahasa Inggris. Yang berarti wewenang dari Kepala Negara untuk memberikan pengampunan terhadap hukuman yang telah dijatuhkan oleh hakim, untuk menghapus seluruhnya, sebagian atau mengubah sifat/bentuk hukuman itu.

Secara singkat, Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan grasi sebagai ampunan yang diberikan Kepala Negara terhadap seseorang yang dijatuhi hukuman. Sedangkan menurut Pasal 1 Undang-Undang No. 20 Tahun 2002, yang dimaksud Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden.

Dari berbagai pengertian diatas, maka dapat kita simpulkan bahwa yang dimaksud dengan grasi ialah sebuah tindakan yang dilakukan oleh Presiden dalam memberikan ampunan pada seseorang dengan cara mengubah, menghapus atau mengurangi hukuman yang diberikan oleh hakim.

Sesungguhnya grasi bukanlah sebuah upaya hukum, karena upaya hukum hanya terdapat sampai pada tingkat Kasasi ke MA. Grasi merupakan upaya non hukum yang didasarkan pada hak prerogatif Presiden dan juga diputuskan berdasarkan pertimbangan subjektif Presiden.
Berdasarkan UU No. 22 Tahun 2002, maka dapat kita ketahui bahwa grasi.
  • Dapat dimohonkan pada pidana mati, penjara seumur hidup, dan penjara paling rendah 2 (dua) tahun. 
  • Permohonan grasi hanya dapat diajukan satu kali, kecuali dalam dua hal, yaitu terpidana yang pernah ditolak permohonan grasinya dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal penolakan permohonan grasi tersebut atau terpidana yang pernah diberi grasi dari pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal keputusan pemberian grasi diterima.
Pemberian grasi oleh Presiden dapat berupa:
a. Peringanan atau perubahan jenis pidana
b. Pengurangan jumlah pidana
c. Penghapusan pelaksanaan pidana.

Permohonan Grasi dapat diajukan oleh:
a.Terpidana atau Kuasa Hukumnya
b.Keluarga Terpidana, baik dengan persetujuan terpidana maupun tanpa persetujuan terpidana (bagi terpidana hukuman mati.

Grasi sangat dibutuhkan dalam pemerntahan suatu negara karena dapat meminimalisasi beberapa resiko yang dikhawatirkan sebagai akibat dari vonis yang dijatuhkan oleh hakim, khususnya untuk pidana maksimal seperti pidana mati, yaitu adanya kemungkinan terjadi eksekusi terhadap "innocent people".

Selain itu, adanya kekhilafan dalam proses hukum, meliputi proses penuntutan, penangkapan yang salah, atau keterangan dari saksi yang tidak dapat dipercaya, bisa saja terjadi. Boleh dibilang grasi merupakan salah satu lembaga yang bisa mengkoreksi dan mengatasi resiko tersebut. Itulah sebabnya mengapa grasi berada di luar lingkup peradilan pidana.

Hal ini memberikan indikasi bahwa, meskipun grasi merupakan kewenangan presiden yang berada dalam lingkup Hukum Tata Negara, hukum pidana juga memandang tentang keberadaan grasi dalam hal upaya dari terpidana untuk menghindarkan dari eksekusi putusan.


REHABILITASI

Rehabilitasi berasal dari bahasa Latin, “habilitare” yang berarti “membuat baik”. Dalam perspektif ini, yang dimaksud rehabilitasi ialah suatu tindakan Presiden dalam rangka mengembalikan hak seseorang yang telah hilang karena suatu keputusan hakim yang ternyata dalam waktu berikutnya terbukti bahwa kesalahan yang telah dilakukan seorang tersangka tidak seberapa dibandingkan dengan perkiraan semula atau bahkan ia ternyata tidak bersalah sama sekali. 

KBBI secara singkat menterjemahkan rehabilitasi sebagai pemulihan kpd kedudukan (keadaan, nama baik) yg dahulu (semula). Fokus rehabilitasi ini terletak pada nilai kehormatan yang diperoleh kembali dan hal ini tidak tergantung kepada Undang-undang tetapi pada pandangan masyarakat sekitarnya
Secara psikologis, tentu penetapan seseorang sebagai terpidana atau “hanya” sebagai tersangka atas sebuah perkara hukum tentu akan membawa dampak yang cukup besar, bukan hanya bagi dirinya tetapi juga bagi orang-orang disekitarnya. 

Oleh karena itu, rehabilitasi dapat dianggap sebagai tanggung jawab psikologis Presiden dalam memperbaiki nama, hak, dan citra seseorang yang terlanjur dihubungkan dengan perkara hukum, tetapi tidak dapat dibuktikan keterlibatannya atau sangkaan yang salah.

No comments:

Post a Comment