Saturday 6 February 2016

Anggota Dewan Terhormat yang Tidak Terhormat

Kita sudah tentu sering mendengar istilah “Anggota Dewan yang Terhormat”. Sebutan ini adalah sebutan mulia bagi para wakil rakyat yang katanya selalu membela kepentingan rakyat. Dibalik predikat “Anggota Dewan yang Terhormat', sesungguhnya melekat tugas dan kewajiban yang tidak ringan pada para Anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Mereka adalah warga negara pilihan yang menentukan nasib rakyat maupun arah perjalanan bangsa. Kehormatan itu bukan keistimewaan yang bisa untuk sembarangan. Namun justru harus dijunjung tinggi sebagai penghargaan dari negara dan bangsa ini. Apalagi, kehormatan itu melekat pada harga diri dan keluarga para anggota dewan.

Namun sepertinya predikat itu hanya semboyan belaka. Semboyan ini berbanding terbalik dengan beberapa kelakuan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang tidak menunjukkan bahwa dia terhormat. Kasus Anggota DPR yang tidur, menonton video porno, bolos kerja, dan lain sebagainya kiranya bukan sesuatu hal yang baru untuk diperbincangkan. Kasus kekerasan yang pelakunya diduga Anggota DPR pun beberapa minggu ini sedang hangat diperbincangkan. Pada kasus ini, Anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan yaitu Masinton Pasaribu, diduga telah menganiaya staf ahlinya yang bernama Dita Aditia. 

Asisten pribadi dari anggota Komisi III DPR ini diduga telah dianiaya oleh Masinton pada 21 Januari lalu. Dita, yang ternyata adalah kader Partai Nasional Demokrat (NasDem) DKI Jakarta, sudah melaporkan tindakan Masinton kepada Badan Reserse Kriminal Polri. Dita melapor ke Bareskrim Polri bersama dengan Sekretaris Dewan Pimpinan Wilayah Partai Nasdem DKI Jakarta, Wibi Andrino, pada Sabtu 30 Januari 2016 malam.

Menurut Wibi, pada 21 Januari 2016 malam itu, Masinton menjemput Dita di Kafe Camden, Cikini, Jakarta Pusat. Kemudian Dita dibawa keliling-keliling oleh Masinton lalu di dalam mobil ia dipukul. Masinton pun memberi Dita obat-obatan agar lekas sembuh. Dita lantas diam saja dan enggan memprosesnya secara hukum. Namun, pengurus DPW Partai Nasdem DKI Jakarta kemudian mempertanyakan luka di mata sebelah kanan Dita. Setelah Dita menyatakan bahwa luka itu karena dipukul Masinton, Wibi pun menyuruh agar kasus ini dilaporkan kepada kepolisian dan akhirnya kasus ini dilaporkan kepada kepolisian.

Namun Masinton dan Dita memiliki cerita yang berbeda mengenai kejadian itu. Menurut Masinton, saat di daerah Otto Iskandardinata untuk mengantarkan Dita pulang, Dita yang tengah mabuk tiba-tiba menarik setir mobil yang dikemudikan oleh tenaga ahlinya, Abraham Leo. Mobil yang oleng membuat Abraham refleks menepis tangan Dita dan tanpa sengaja mengenai wajah perempuan itu.


Namun dibalik kasus dugaan penganiayaan anggota Fraksi PDIP Masinton Pasaribu terhadap staf ahlinya Dita Aditia Ismawati ini, disebut berpengaruh kepada hubungan Partai NasDem dengan PDIP. Dita yang merupakan kader Partai NasDem menimbulkan isu adanya politisasi dalam kasus ini. 

Menurut Ketua Bidang Hukum DPP PDI Perjuangan, Triemdya Pandjaitan, pihaknya menengarai ada irisan politik dalam kasus yang ditudingan terhadap Masinton. Pernyataan Trimedya ini bukan tanpa dasar. Ia menyebutkan selama setahun terakhir ini, Masinton kerap bersuara lantang terhadap isu-isu di publik. Dia menyebut yang dihadapi saat ini bagian dari risiko sikap kritisnya. 

Hal senada juga dinyatakan oleh Koordinator Perhimpunan Tenaga Ahli dan Staf Administrasi (PETA-DPR RI), Lamen Hendra Saputra. Ia mengungkapkan bahwa Tenaga Ahli dan Asisten Pribadi seharusnya melekat pada anggota DPR RI. Menurutnya, Masinton yang merupakan Fraksi PDIP, sudah tentu bahwa para Tenaga Ahli dan Staff Ahli dari kader PDIP sudah diverifikasi oleh PDIP sebelum diangkat, pasti. Tapi, beberapa waktu lalu ada pengakuan dari pihak Dita Aditia bahwa dia adalah kader Partai Nasdem. Sehingga hal ini tentunya menunjukkan unsur politis. 

Lanjut Lamen, Masinton sendiri sedang konsen dalam mengusut tuntas kasus besar yang sangat merugikan Republik Indonesia, seperti menjadi inisiator Pansus Pelindo II dan juga sedang menggalang Pansus Freeport, sehingga sangat kental muatan politisnya. Untuk diketahui, Fraksi Partai Nasdem memang baru saja bermasalah dengan Masinton. Pasalnya, Partai NasDem sakit hati dengan Masinton atas pernyataannya di Komisi III DPR, beberapa waktu lalu. Saat Rapat Kerja Komisi III dengan Jaksa Agung yang dilaksanakan pada 20 Januari 2016, Masinton Pasaribu mengingatkan Prasetyo, Jaksa Agung yang juga kader Nasdem, bahwa dalam kasus-kasus Freeport dan Mobile 8, ada pertarungan antar geng. Dan dalam kasus Mobile 8, ada pertarungan Surya Paloh dan Hari Tanoe sebagai sesama pengusaha media massa. 

Di tempat terpisah, Lamen mengungkapkan bahwa Dita Aditia diangkat menjadi Asisten Pribadi Masinton Pasaribu karena yang bersangkutan merupakan kader Relawan Perjuangan Demokrasi atau Repdem (salah satu ormas PDIP) dan Masinton adalah Ketua Umum Repdem. Namun, setelah bekerja sebagai Sespri, Dita melompat ke Partai Nasdem tanpa sepengetahuan Masinton. Dita aktif di Garda Pemuda Nasdem dan pada 2016 ini Dita baru jadi pengurus Partai di DPW DKI Jakarta. 

Dita Aditia Ismawati sendiri telah melaporkan anggota Fraksi PDI Perjuangan Masinton Pasaribu ke Mahkamah Kehormatan Dewan pada Selasa, 2 Februari 2016 lalu. Dita melaporkan anggota Komisi Hukum DPR tersebut melalui kuasa hukumnya, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK). Walaupun kedudukan Dita hanyalah bawahan dari Masinton, namun hal ini bisa dilakukan dengan merujuk pasal 5 (1) Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Tata Beracara Mahkamah Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat, perkara pengaduan kepada Mahkamah Kehormatan Dewan dapat disampaikan oleh Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat atas aduan sesama Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Anggota terhadap Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat atau Pimpinan Alat Kelengkapan Dewan, dan / atau masyarakat secara perseorangan atau kelompok terhadap Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat, atau Pimpinan Alat Kelengkapan Dewan. Jelas bahwa bila Dita memposisikan dirinya sebagai masyarakat, maka ia dapat melakukan pengaduan terhadap Masinton walaupun ia adalah atasan dari Dita. Pada akhirnya pun, kata masyarakat dalam pasal itu membuka kemungkinan bagi setiap orang untuk melaporkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Kehormatan Dewan sekalipun ia hanya rakyat biasa dan tidak bekerja di DPR.

Sekitar pukul 13.30 WIB, Direktur LBH APIK, Ratna Batara Munti, beserta dua kuasa hukum Dita datang ke sekretariat MKD untuk menyerahkan persyaratan administrasi pengaduan. Ratna diterima oleh dua petugas sekretariat MKD. Ratna berharap, MKD menindaklanjuti dugaan kasus pelanggaran kode etik yang dilaporkannya. 

LBH APIK sebenarnya cukup jarang didengar di “blantika” hukum Indonesia. LBH APIK Jakarta adalah lembaga yang dibentuk oleh APIK (Asosiasi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan), yang didirikan oleh tujuh orang perempuan pengacara pada tanggal 4 Agustus 1995. LBH APIK Jakarta bertujuan mewujudkan masyarakat yang adil, makmur dan demokratis, serta menciptakan kondisi yang setara antara perempuan dan laki-laki dalam segala aspek kehidupan, baik politik, ekonomi, sosial maupun budaya. Tujuan ini hendak dicapai dengan mewujudkan sistem hukum yang berperspektif perempuan yaitu sistem hukum yang adil dipandang dari pola hubungan kekuasaan dalam masyarakat, ”khususnya hubungan perempuan - laki-laki”, dengan terus menerus berupaya menghapuskan ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender dalam berbagai bentuknya. 

Mahkamah Kehormatan Dewan sendiri di dalam Pasal 2 Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Tata Beracara Mahkamah Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat adalah alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap dan bertujuan menjaga serta menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat. DPR menetapkan susunan dan keanggotaan Mahkamah Kehormatan Dewan dengan memperhatikan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang. Anggota Mahkamah Kehormatan Dewan berjumlah 17 (tujuh belas) orang dan ditetapkan dalam rapat paripurna pada permulaan masa keanggotan DPR dan pada permulaan tahun sidang. Pimpinan Mahkamah Kehormatan Dewan merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial, yang terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 3 (tiga) orang wakil ketua, yang dipilih dari dan oleh anggota Mahkamah Kehormatan Dewan berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan memperhatikan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi.

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat harus selalu menjaga harkat, martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas di dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya serta dalam menjalankan kebebasannya menggunakan hak berekspresi, beragama, berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat harus menghindari perilaku tidak pantas atau tidak patut yang dapat merendahkan citra dan kehormatan DPR baik di dalam gedung DPR maupun di luar gedung DPR menurut pandangan etika dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Hal ini tentunya untuk menjaga predikat anggota Dewan Perwakilan Rakyat sebagai anggota Dewan yang terhormat. Untuk itulah diperlukan suatu aturan main bagi para anggota Dewan Perwakilan Rakyat di dalam menjalankan fungsinya. Aturan itu lebih kita kenal dengan istilah Kode Etik.

Dalam Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Kode Etik Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Kode Etik Dewan Perwakilan Rakyat adalah norma yang wajib dipatuhi oleh setiap Anggota Dewan Perwakilan Rakyat selama menjalankan tugasnya untuk menjaga martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas DPR. Banyak sekali norma yang wajib dipatuhi oleh Anggota Dewan Perwakilan Rakyat di dalam Kode Etik ini. Bila kita kaitkan dengan kasus ini, maka ada dua pasal yang bisa dibilang sangat jelas dan tegas mengatur bagaimana hubungan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dengan staffnya. Pasal pertama adalah Pasal 18 ayat (1) Peraturan DPR No. 1 / 2015 yang menyatakan bahwa Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dilarang melakukan diskriminasi dalam hal penentuan tenaga ahli dan staf administrasinya serta pemberian kompensasi yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dan pasal kedua adalah Pasal 18 ayat (3) yang menyatakan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dilarang melakukan hubungan yang tidak proporsional dan tidak profesional, baik dengan tenaga ahli dan staf administrasinya maupun pegawai di lingkungan Sekretariat Jenderal DPR. Dari kedua pasal di atas, jelas bahwa Anggota Dewan Perwakilan Rakyat tidak bisa melakukan perbuatan semena-mena kepada staf atau asistennya. Tidak ada alasan bagi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat memperlakukan bawahannya itu dengan sesuka hatinya termasuk melakukan kekerasan fisik kepada mereka. Dalam kasus ini, bila Masinton ternyata benar adanya melakukan kekerasan terhadap staff ahlinya, hal ini tentu sudah melanggar Kode Etik. Walaupun mereka adalah bawahannya, tetapi hubungan profesional harus diwujudkan antara Anggota Dewan Perwakilan Rakyat sebagai atasan dan staf serta tenaga ahlinya sebagai bawahannya.

Lantas, bagaimana jika anggota Dewan yang terhormat ini melakukan pelanggaran kode etik? Di dalam Pasal 19 ayat (1) Peraturan DPR No. 1 / 2015, penegakan Kode Etik dilakukan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan. Mahkamah Kehormatan Dewan sebagai alat kelengkapan DPR yang bertugas menjaga harkat dan martabat anggota Dewanlah yang harus turun tangan ketika menghadapi kasus-kasus seperti kasus Masinton ini. Proses penegakan Kode Etik ini pun dilakukan melalui Sidang Mahkamah Kehormatan Dewan. Di dalam sidang ini ada proses mendengarkan keterangan Pengadu dan Teradu, memeriksa alat bukti, dan mendengarkan pembelaan Teradu terhadap materi Pengaduan berdasarkan Tata Tertib dan Kode Etik yang dihadiri Pengadu, Teradu, Saksi, Ahli, atau pihak lain yang diperlukan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan, baik bersama-sama maupun sendiri-sendiri dan dilaksanakan dalam ruang sidang Majelis Kehormatan Dewan.

Kembali ke kasus ini, Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR menyatakan belum membahas laporan LBH APIK yang telah dijelaskan di atas. Wakil Ketua MKD, Sufmi Dasco Ahmad menyatakan bahwa kasus ini baru akan dibahas pekan depan. Dia menyatakan bahwa Mahkamah Kehormatan Dewan harus menemui dan berkoordinasi dengan Bareskrim Polri di dalam mengusut kasus ini. Hal ini dikarenakan kasus ini sudah masuk dalam ranah hukum, di mana diduga ada penganiyaan yang dilakukan oleh Masinton kepada Dita. Kerja sama antara Mahkamah Kehormatan Dewan dan Kepolisian tentu dapat dilakukan dikarenakan dalam Pasal 13 ayat (8) Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Tata Beracara Mahkamah Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat, dalam hal melakukan Penyelidikan atas suatu pengaduan, Mahkamah Kehormatan Dewan dapat bekerja sama dengan aparat penegak hukum. Sufmi menegaskan bila aparat penegak hukum menemukan pelanggaran dalam kasus tersebut, maka Mahkamah Kehormatan Dewan memastikan terdapat pula kesalahan etika yang dilakukan Masinton

Terkait adanya politisasi dalam kasus ini, beberapa pihak menyatakan ketidakbenaran adanya unsur politik dalam kasus ini. Menurut anggota Dewan Pakar Partai NasDem, Taufiqulhadi, pihak Nasional Demokrat tidak ingin dan tidak akan politisasi kasus ini. Menurutnya tidak ada kehadiran NasDem atau PDIP di dalam kasus ini dan kasus ini adalah murni kasus personal antara Masinton dan Dita. Taufiq mengaku sudah mengetahui duduk persoalan peristiwa itu, namun dia menyerahkan kepada Masinton dan Dita untuk diselesaikan secara damai dan jika tidak bisa diselesaikan secara kekeluargaan, maka tidak masalah jika ingin dibawa ke hukum. Terkait Sekretaris DPW NasDem DKI, Wibi Andrino, yang membantu Dita melapor ke polisi, menurut Taufiq hal itu lebih karena hubungan pertemanan dan bukan dalam konteks NasDem membantu Dita. Dari pihak satunya pun juga mengutarakan hal yang sama. Wakil Ketua Fraksi PDIP Arif Wibowo meminta agar kasus dugaan penganiayaan anggota DPR dari PDIP Masinton Pasaribu terhadap Dita Aditya ini jangan dipolitisasi.

Sikap kedua kubu pun sejalan dengan pemikiran Direktur ‎LBH APIK Ratna Bantara yang melaporkan kasus ini kepada Mahkamah Kehormatan Dewan. Ia membantah adanya politisasi dalam kasus ini. Ia menilai pemukulan tersebut tidak terkait dengan rapat Komisi III DPR dimana Masinton terkena somasi dari Fraksi Nadem. Ratna menilai peristiwa yang dialami Dita karena relasi kuasa. Sebab, Dita masih muda dan menganggap Masinton sebagai mentor politik, namun Masinton diduga melakukan abuse of power untuk mengontrol Dita. 

Pada akhirnya, penulis belum bisa menentukan sikap dan menyatakan siapa yang benar di dalam kasus ini. Masinton dan Dita sama-sama mengeluarkan statement yang berbeda dalam kasus ini dan belum ditemukan juga titik terang dari kasus ini. Mahkamah Kehormatan Dewan pun masih menjalankan proses penegakan kode etik dan belum ada kabar pasti kapan kasus ini dapat diselesaikan. Kiranya dari penulis hanya ingin menyatakan keprihatinan terhadap kinerja anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Perilaku KKN, tidur saat rapat, sering bolos kerja, dan menonton video porno kiranya belum lengkap untuk mendeskripsikan anggota Dewan yang katanya terhormat. Perilaku tidak profesional di dalam hubungan kerja tentunya bisa menjadi ciri dari anggota dewan selanjutnya. Kita tentu tetap harus menjunjung asas praduga tidak bersalah selama belum ditetapkan siapa yang sebenarnya salah dalam kasus ini. Namun, bila nanti ternyata Masinton yang bertanggung jawab dalam kasus ini, maka kiranya slogan anggota Dewan Perwakilan Rakyat sebagai anggota Dewan yang terhormat harus diganti dengan slogan anggota Dewan yang berusaha terhormat.


Sumber :

· http://nasional.inilah.com/read/detail/2271439/politisasi-atau-asmara-di-kasus-masinton#sthash.g0JUeYBs.dpuf

· http://nasional.tempo.co/read/news/2016/02/03/063741766/mkd-akan-ke-bareskrim-untuk-koordinasi-kasus-masinton

· http://news.detik.com/berita/3132068/nasdem-kasus-dita-dan-masinton-masalah-pribadi-tak-terkait-partai

· http://www.beritasatu.com/nasional/346359-fraksi-nasdem-klaim-tak-ada-politisasi-kasus-masintondita.html

· http://www.dpr.go.id/Alat Kelengkapan Dewan/index/id/Tentang-Mahkamah-Kehormatan-Dewan

· http://www.lbh-apik.or.id/profil-lbh-apik-jakarta.html

· http://www.teropongsenayan.com/29266-anggota-dewan-yang-tidak-terhormat

· http://www.tribunnews.com/nasional/2016/02/02/dibantah-motif-asmara-di-balik-penganiayaan-anggota-dpr-masinton-kepada-stafnya-dita

· http://www.tribunnews.com/nasional/2016/02/03/mkd-jika-masinton-melanggar-hukum-pasti-kena-sanksi-etik

· https://nasional.tempo.co/read/news/2016/02/02/078741492/lbh-apik-wakili-asisten-pribadi-masinton-lapor-ke-mkd

No comments:

Post a Comment