*Catatan ini hanya sebagai pembantu dalam belajar dan bukan menjadi satu-satunya sumber dalam belajar. Sekiranya ini hanya sebagai reminder dan teman-teman bisa belajar dari sumber lain:) Saran dan komentar sangat terbuka untuk saya. Selamat Belajar :D
PENGANTAR
Ø
HAM = Hak yang melekat seperangkat hak yang
melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa
dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi
oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia.
Ø
HAM diperlukan untuk menunjukkan bahwa manusia
punya martabat
Ø
Hak dan kewajiban adalah simetris, namun tidak
berada pada individu yang sama
Ø
Inti dari HAM = “HAM pada individu, kewajiban
pada negara” (negara harus melindungi HAM negaranya)
Ø
Penegakan HAM sebaiknya dituangkan dalam
peraturan perundang-undangan (supaya tegas dan jelas penegakannya)
Ø
Namun, HAM dapat dibatasi sejauh pembatasan menurut
peraturan perundang-undangan
Ø
Pasal 70 UU 39 / 1999 = Dalam menjalankan hak
dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan
oleh Undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan
atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai
dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis
Ø
Pasal 1 angka (6) UU 39 Tahun 1999 = Pelanggaran
hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang
termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian
yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut
hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang
ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh
penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang
berlaku.
Ø
Tidak semua pelanggaran HAM merupakan
pelanggaran hukum
HUKUM
|
HAM
|
Mekanisme nasional sangat kuat dalam
penyelesaiannya
|
Mekanisme Internasional sangat kuat dalam
penyelesaiannya
|
Mekanisme penyelesaian jelas
|
Mekanisme penyelesaian tidak selalu melalui hukum
|
Ø
Ubi Ius ibi remedium = Dimana ada hak, maka
selalu harus ada kemungkinan untuk memperbaikinya bila dilanggar = where there
is a right there is a remedy
Ø Ubi
remidium ibi ius = a right existed only if a procedure for enforcing it exists
HAK ASASI
MANUSIA DALAM MASYARAKAT INTERNASIONAL
Ø
Contoh instrument HAM internasional :
1.
DUHAM / UDHR = Universal Declaration of Human
Right [1948]
2.
ICCPR = International Covenant on Civil and
Political Rights [1966]
3.
ICESCR = International Covenant on Economic, Social and
Cultural Rights [1966]
Ø
The International Bill of Human Rights consists
of the Universal Declaration of Human Rights, the International Covenant on
Economic, Social and Cultural Rights, and the International Covenant on Civil
and Political Rights and its two Optional Protocols
Ø
Tidak selamanya hukum internasional dapat
langsung diterapkan di suatu negara
Ø
Masyarakat dunia tidak bisa asal komentar /
intervensi penegakan hak asasi manusia di suatu negara (karena setiap negara
punya kedaulatan)
Ø
Instrumen penegakan hak asasi manusia lintas
negara :
1.
Menciptakan instrument hukum internasional (Ex:
ICCPR, International Bill of Human Rights, dll)
2.
Memakai mekanisme PBB, dalam hal ini dibentuk
Dewan Keamanan PBB dan Peradilan Internasional
3.
Dikenakan sanksi (Ex : Embargo, Right and
Responsibility to Protect / R2P, dll)
Ø
Alasan perang yang legal :
1.
Self Defence / Pembelaan Diri
2.
Dimandatkan oleh PBB
Ø
Pasal 51 Piagam PBB = “NOTHING IN THE PRESENT CHARTER shall IMPAIR the inherent RIGHT OF
INDIVIDUAL OR COLLECTIVE SELFDEFENSE IF AN ARMED ATTACK occurs against a
Member of the United Nations, until the Security Council has taken the measures
necessary to maintain international peace and security.”
Ø
jus ad bellum = sebutan yang diberikan pada
cabang hukum yang menentukan alasan-alasan yang sah bagi sebuah negara untuk
berperang dan memfokuskan pada kriteria tertentu yang membuat sebuah perang itu
dibenarkan.
Ø
jus in bello = serangkaian hukum yang akan
berlaku begitu peperangan dimulai.
HAK ASASI
MANUSIA DALAM TRANSISI POLITIK
Ø
Hak asasi manusia tergantung perspektif dari
masing-masing negara
Ø
Pada Perang Dunia II, Jerman dibawah pimpinan
Adolf Hitler banyak melakukan pelanggaran HAM
Ø
3 Semboyan Revolusi Perancis = Liberté, égalité,
fraternité = Kebebasan, Keadilan, Persaudaraan
Ø
Pada 1941, Presiden Franklin Roosevelt
menyampaikan “The Four Freedoms of Roosevelt”, yakni :
a.
HAM Positif
1.
Freedom of Speech = Kebebasan berbicara dan
mengemukakan pendapat
2.
Freedom of Religion = Kebebasan beragama
b.
HAM Negatif
3.
Freedom from fear = Kebebasan dari ketakutan
4.
Freedom from want = Kebebasan dari kemiskinan
Ø
Pada 1945, diselanggarakan konferensi San
Fransisco yang mengesahkan Piagam PBB (setelah itu dibentuk UN Commission on
Human Rights)
Ø
Banyak perdebatan dalam perumusan Universal
Declaration of Human Rights, misalnya rancangan Pasal 1 yang semula disebutkan
bahwa “ALL MEN ARE CREATED EQUAL…”,
karena :
1.
Diksi “all men” dikritik oleh delegasi India
karena dianggap tidak mencakup perempuan
2.
Diksi “created” dikritik oleh delegasi Uni
Soviet karena mereka tidak mengakui adanya Tuhan
Akhirnya diksi yang dipakai dalam Pasal 1 DUHAM adalah “ALL HUMANS BEING ARE BORN FREE AND EQUAL…”
Ø
Pada 10 Desember 1948, Universal Declaration of
Human Right disahkan di Paris (sejak itu, tiap 10 Desember diperingati sebagai
Hari HAM sedunia)
Ø
Dampak positif pengesahan UDHR :
-
Pembebasan Nelson Mandela
-
Kemerdekaan Namibia
-
Pengajaran HAM di dunia
-
Dll
Ø
Pembentukan Universal Declaration of Human
Rights telah memberikan otoritas kepada PBB untuk menegakkan HAM di berbagai
belahan dunia (Ex : Misi Perahu Thomas Hammarberg)
Ø
3 Generasi HAM tersebut ialah :
1. Generasi
yang pertama ( dari abad ke 17 dan ke 18), memuat hak – hak “KEBEBASAN” yang sering di rujuk untuk
mewakili hak – hak sipil dan politik, yakni hak – hak asasi manusia yang
“klasik”. Hak – hak ini muncul dari tuntutan untuk melepaskan diri dari
kungkungan kekuasaan absolutisme negara dan kekuatan – kekuatan sosial lainnya.
Hak yang termasuk dalam generasi pertama ini adalah :
-
Hak hidup
-
Keutuhan jasmani
-
Hak kebebasan bergerak
-
Hak suaka dari penindasan
-
Perlindungan terhadap hak milik
-
Kebebasan berpikir, beragama, dan berkeyakinan
-
Kebebasan untuk berkumpul dan menyatakan pikiran
-
Hak bebas dari penahanann dan penangkapan
sewenang – wenang
-
Hak bebas dari penyiksaan
-
Hak bebas dari hukuman yang berlaku surut
-
Hak mendapatkan proses peradilan yang adil
Hak
– hak pada generasi pertama ini sering pula disebut sebagai “hak – hak
negatif”, artinya tidak terkait dengan nilai – nilai buruk, melainkan merujuk
pada tiadanya campur tangan terhadap hak – hak dan kebebasan individual. Jadi
di generasi ini negara tidak boleh berperan aktif (positif) terhadapnya, karena
akan mengakibatkan pelanggaran terhadap hak – hak dan kebebasan tersebut
2. Generasi
ke-dua (pada abad 19 dan abad 20), memuat “PERSAMAAN”
atau seperangkat hak yang dikenal dengan hak – hak ekonomi, sosial dan budaya.
Generasi ini berbeda dengan hak – hak generasi pertama. Pada generasi ini hak –
hak muncul dari tuntutan agar negara menyediakan pemenuhan terhadap kebutuhan
dari setiap orang, mulai dari makan sampai pada kesehatan. Hak – hak pada
generasi ke-dua ini adalah :
-
hak atas pekerjaan
-
hak
atas upah yang layak
-
hak
atasjaminan sosial
-
hak
atas pendidikan
-
hak atas kesehatan
-
hak atas pangan
-
hak atas tanah
-
hak atas lingkungan yang sehat
-
hak atas perlindungan hasil karya ilmiah,
kesasteraan, dan kesenian
Hak
– hak generasi ini pada dasarnya adalah tuntutan akan persamaan sosial, yang
sering dikatakan sebagai “hak positif”. Yang di maksud posistif disini adalah
bahwa pemenuhan hak –hak tersebut sangat membutuhkan peran aktif negara. Jadi, untuk memenuhi hak – hak pada generasi
ini negara diwajiban untuk menyusun dan menjalankan program – program bagi
pemenuhan hak – hak tersebut. Misalnya: “seharusnya negara bisa menjamin hak
untuk bekerja”
3. Generasi
ke – tiga muncul selama tiga dekade terakhir abad 20, “persaudaraan” atau hak
generasi ketiga diwakili oleh tuntutan atas “HAK SOLIDARITAS” atau “hak bersama”. Hak – hak ini muncul atas
tuntutan gigih negara – negara berkembang atau Dunia Ketiga atas tatanan
internasional yang adil. Hak – hak pada generasi ke tiga ini adalah :
-
Hak atas pembangunan
-
Hak atas perdamaian
-
Hak atas sumbera daya alam sendiri
-
Hak atas lingkungan hidup yang baik
-
Hak atas warisan budaya sendiri
-
Hak atas generasi ketiga hak asasi manusia itu
Generasi
Ke Tiga yang merupakan kritik terhadap Generasi pertama, yaitu dengan perlunya
memperhatikan unsur kolektif dalam kehidupan.
HAK ASASI
MANUSIA DI INDONESIA
Ø
UU HAM di Indonesia = UU No. 39 Tahun 1999
Ø
Hak asasi manusia dalam Pasal 28 UUD NRI 1945 :
1.
HAM berkaitan dengan hidup dan kehidupan
2.
HAM berkaitan dengan keluarga
3.
HAM berkaitan dengan pendidikan dan IPTEK
4.
HAM berkaitan dengan pekerjaan
5.
HAM berkaitan dnegan kebebasan beragama dan
meyakini kepercayaan, kebebasan bersikap, berpendapat, dan berserikat
6.
HAM berkaitan dengan informasi dan komunikasi
7.
HAM berkaitan dengan rasa aman dan perlindungan
dari perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat manusia
8.
HAM berkaitan dengan kesejahteraan sosial
9.
HAM berkaitan dengan persamaan dan keadilan
10.
HAM berkewajiban menghargai hak orang dan pihak
lain
Ø
Pasal 28 I ayat (1) UUD NRI 1945 = Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak
kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak,
hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut
atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apa pun
Ø
Hak-hak dalam UU 39 / 1999 :
1.
Hak untuk Hidup
2.
Hak berkeluarga dan Melanjutkan keturunan
3.
Hak mengembangkan diri
4.
Hak memperoleh keadilan
5.
Ha katas kebebasan pribadi
6.
Hak atas rasa aman
7.
Ha katas kesejahteraan
8.
Hak turut serta dalam pemerintahan
9.
Hak wanita
10.
Hak anak
Ø
Mardjono Reksodiputro mengemukakan cara
pemantauan pelaksanaan HAM harus memenuhi syarat sebagai berikut :
1.
Menjadikan HAM sebagai hukum Indonesia;
2.
Terdapat prosedur hukum untuk mempertahankan dan
melindungi HAM;
3.
Terdapat pengadilan HAM yang bebas (an
independent judiciary); dan
4.
Adanya profesi hukum yang bebas (an independent
legal profession).
HAK ATAS
KEADILAN
Ø
Pembukaan DUHAM butir 3 = Whereas it is
essential, if man is not to be compelled to have recourse, as a last resort, to
rebellion against tyranny and oppression, that human rights should be PROTECTED BY THE RULE OF LAW
Ø
Pasal 7 DUHAM = ALL ARE EQUAL BEFORE THE LAW and are entitled without any
discrimination to equal protection of the law. All are entitled to equal
protection against any discrimination in violation of this Declaration and
against any incitement to such discrimination.
Ø
Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945 = Setiap orang
berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama di hadapan hukum
Ø
Pasal 17 UU 39 / 1999 = Setiap orang. tanpa
diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan,
pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi
serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai
dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang
jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar.
Ø
Bentuk-bentuk hak atas keadilan :
1.
Equality Before The Law = Asas Persamaan di
Hadapan Hukum
2.
Presumption of Innocence = Asas di mana
seseorang dinyatakan tidak bersalah hingga pengadilan menyatakannya bersalah
3.
Non Retroaktif = Asas yang melarang keberlakuan
surut dari suatu undang-undang
4.
Bantuan Hukum = Jasa hukum yang diberikan oleh
Pemberi Bantuan Hukum secara cuma-cuma kepada Penerima Bantuan Hukum.
5.
Ne bis in idem = seseorang tidak dapat dituntut
lantaran perbuatan (peristiwa) yang baginya telah diputuskan oleh hakim
6.
Hak untuk tidak dirampas harta benda secara
sewenang-wenang
7.
Larangan penyanderaan (gijzeling) = pengekangan sementara waktu kebebasan seseorang
menempatkannya di tempat tertentu
8.
Independence Judiciary = Kekuasaan Kehakiman
yang merdeka
9.
Penangkapan / Penahanan semena-semena
10.
Due Process of Law / Judiciary Procedure =
Proses Hukum Yang Adil (bukan atas dasar kebencian semata)
HAK SAKSI DAN
KORBAN
Ø
KUHAP menjadi pedoman bagi penegak hukum agar
tidak abuse of power
Ø
Dalam KUHAP, pihak yang mendapat perlindungan /
hak secara eksplisit hanya tersangka dan terdakwa (tidak termasuk saksi dan
korban)
Ø
UU Perlindungan Saksi dan Korban = Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban
Ø
Saksi = Orang yang dapat memberikan keterangan
guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara
pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri. (Pasal 1
angka 26 KUHAP)
Ø
Semenjak Putusan MK Nomor 65/PUU-VIII/2010, saksi
dalam perkara pidana tidak hanya orang yang mendengar, melihat, dan merasakan
sendiri terjadinya tindak pidana. Orang yang tidak mendengar, melihat, dan
merasakan terjadinya tindak pidana pun dapat menjadi saksi selama ia memiliki
pengetahuan yang relevan terkait tindak pidana/tuduhan tindak pidana yang
diperkarakan.
Ø
Saksi Pelaku = Tersangka, terdakwa, atau
terpidana yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak
pidana dalam kasus yang sama = Justice Collaborator
Ø
Korban = Orang yang mengalami penderitaan fisik,
mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana (UU
Perlindungan Saksi dan Korban)
Ø
Hak Saksi dan Korban : (Pasal 5 ayat (1) UU
Perlindungan Saksi dan Korban)
a.
memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi,
Keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan
kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;
b.
ikut serta dalam proses memilih dan menentukan
bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;
c.
memberikan keterangan tanpa tekanan;
d.
mendapat penerjemah;
e.
bebas dari pertanyaan yang menjerat;
f.
mendapat informasi mengenai perkembangan kasus;
g.
mendapat informasi mengenai putusan pengadilan;
h.
mendapat informasi dalam hal terpidana
dibebaskan;
i.
dirahasiakan identitasnya;
j.
mendapat identitas baru;
k.
mendapat tempat kediaman sementara;
l.
mendapat tempat kediaman baru;
m.
memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai
dengan kebutuhan;
n.
mendapat nasihat hukum;
o.
memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai
batas waktu Perlindungan berakhir;
dan/atau
p.
mendapat pendampingan
Ø
Hak-hak di atas diberikan kepada Saksi dan/atau
Korban tindak pidana dalam kasus tertentu sesuai dengan Keputusan LPSK. (Pasal
5 ayat (2))
Ø
Selain kepada Saksi dan/atau Korban, hak yang
diberikan dalam kasus tertentu sebagaimana dimaksud di atas, dapat diberikan
kepada Saksi Pelaku, Pelapor, dan ahli, termasuk pula orang yang dapat
memberikan keterangan yang berhubungan dengan suatu perkara pidana meskipun
tidak ia dengar sendiri, tidak ia lihat sendiri, dan tidak ia alami sendiri,
sepanjang keterangan orang itu berhubungan dengan tindak pidana. (Pasal 5 ayat
(3))
Ø
Korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat,
Korban tindak pidana terorisme, Korban tindak pidana perdagangan orang, Korban
tindak pidana penyiksaan, Korban tindak pidana kekerasan seksual, dan Korban
penganiayaan berat, selain berhak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, juga
berhak mendapatkan : (Pasal 6 ayat (1) UU Perlindungan Saksi dan Korban)
a.
Bantuan Medis
b.
Bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis
Ø
Korban tindak pidana berhak memperoleh restitusi
berupa : (Pasal 7A UU Perlindungan Saksi dan Korban)
a.
Ganti kerugian atas kehilangan kekayaan /
penghasilan
b.
Ganti kerugian yang ditimbulkan akibat
penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana, dan / atau
c.
penggantian biaya perawatan medis dan/atau
psikologis
Ø Saksi
harus berkata jujur !!! (kalau engga, Pasal
242 ayat (1) KUHP mengancam hukuman tujuh tahun bagi siapapun dengan sengaja
memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik lisan maupun tertulis, secara
pribadi maupun oleh kuasanya yang ditunjuk untuk itu)
Ø
Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan/atau Pelapor
tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian
dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau
laporan tersebut diberikan tidak dengan iktikad baik. (Pasal 10 ayat (1) UU
Perlindungan Saksi dan Korban)
Ø
Dalam hal terdapat tuntutan hukum terhadap
Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan/atau Pelapor atas kesaksian dan/atau laporan
yang akan, sedang, atau telah diberikan, tuntutan hukum tersebut wajib ditunda
hingga kasus yang ia laporkan atau ia berikan kesaksian telah diputus oleh
pengadilan dan memperoleh kekuatan hukum tetap.” (Pasal 10 ayat (2) UU
Perlindungan Saksi dan Korban)
HAK TURUT
SERTA DALAM PEMERINTAHAN (HTSP)
Ø
HTSP = Hak untuk memilih dan dipilih
Ø
Dalam konstitusi Indonesia, setiap warga negara
berhak turut serta dalam pemerintahan secara langsung atau melalui perantaraan
wakil yang dipilih secara bebas (HTSP adalah hak konstitusional)
Ø
Konsep HTSP :
a.
Demokrasi Pemerintahan = Mengembangkan lembaga
dan proses pemerintahan yang lebih responsive terhadap kebutuhan masyarakat
b.
Pelayanan Publik = Kegiatan dalam rangka
pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai peraturan perundang-undangan bagi setiap
warga negara
c.
Partisipasi Publik = Keikutsertaan publik dalam
mencari bentuk dan fasilitas keterlibatan publik yang berpotensi terkena
keputusan atau tertarik pada keluarnya keputusan pemerintah (prinsipnya, mereka
yang terkena kebijakan pemerintah memiliki hak dalam proses pengambilan
keputusan)
Ø
HTSP berguna untuk menjamin hak politik
masyarakat
Ø
Pasal 43 UU HAM :
1.
Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan
memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara
yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
2.
Setiap warga negara berhak turut serta dalam
pemerintahan dengan langsung atau dengan perantaraan wakil yang dipilihnya
dengan bebas, menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundangundangan.
3.
Setiap warga negara dapat diangkat dalam setiap
jabatan pemerintahan.
Ø
Pasal 44 = Setiap orang baik sendiri maupun
bersama-sama berhak mengajukan pendapat, permohonan, pengaduan, dan atau usulan
kepada pemerintah dalam rangka pelaksanaan pemerintahan yang bersih, efektif,
dan efisien, baik dengan lisan maupun dengan tulisan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Ø
Pelaksanaan dan Penerapan Hak Turut Serta dalam
Pemerintahan :
1.
Adaptasi hukum yang ada / membuat peraturan baru
2.
Mengubah / menyesuaikan tindakan-tindakan
administratif / keuangan (terkait prosedur)
3.
Menerbitkan rencana aksi nasional dan
program-program serupa
4.
Menjamin dan memfasilitasi akses perlindungan
hukum jika seseorang merasa melanggar HAM nya
5.
Secara teratur meninjau dan mengevaluasi hasil
tindakan
Ø
Penyelenggaran Pemilihan Umum yang berkualitas
diperlukan sebagai sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945 dalam pemerintahan negara yang demokratis
Ø
Pemilu sebagai proses demokrasi mencerminkan
pandangan yang bersifat mekanis yang melihat rakyat sebagai massa individu yang
sama
Ø
Menurut sistem organis, lembaga perwakilan
rakyat mencerminkan perwakilan dari berbagai kepentingan khusus yang
mencerminkan persekutuan-persekutuan hidup masing-masing
Ø
Sistem Demokrasi :
a.
Demokrasi Liberal = Pemerintahan dibatasi oleh
UU dan Pemilu diselenggarakan dalam waktu yang ajeg
b.
Demokrasi Terpimpin = Para pemimpin percaya
bahwa mereka dipercayai rakyat, namun menolak pemilu
c.
Demokrasi Sosial = Menaruh kepedulian pada
keadaan sosial dengan egaliterianisme bagi persyaratan untuk memperoleh
kepercayaan publik
d.
Demokrasi Partisipasi = Menekankan timbal balik
antara penguasa dan yang dikuasai
Ø
Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945 = Pemilihan umum
dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima
tahun sekali
Ø
Pasal 22E ayat (2) UUD NRI 1945 = Pemilihan umum
diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah
Ø
Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945 = Gubernur,
Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan
kota dipilih secara demokratis
Ø
Pemilihan kepala daerah bukan Pemilu !
Ø
Dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945, Pemilihan
Umum pasti dilakukan secara langsung, sedangkan Pilkada hanya sebatas dilakukan
secara demokratis ( Makanya Pilkada ga masuk rezim pemilu dan Pilkada boleh
dilakukan melalui Lembaga Perwakilan Rakyat )
Ø
Pasal 27 UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden :
1.
Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan
suara telah genap berumur 17 (tujuh
belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih.
2.
Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) didaftar oleh penyelenggara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dalam
daftar Pemilih.
Ø Pasal
28 UU No. 42 Tahun 2008 = Untuk dapat menggunakan hak memilih, Warga Negara
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 harus terdaftar sebagai Pemilih
Ø
Lembaga pemenuhan HTSP :
1.
Pemerintah dan subordinasinya
2.
MK (Dalam hal Pengujian Undang Undang yang
dianggap melanggar HTSP, sehingga dimintakan untuk diubah agar tidak melanggar)
3.
MA
4.
Penyelenggara Pemilu (KPU, Bawaslu, DKPP, dll)
Ø Pasal
35 ayat (1) KUHP = Hak-hak terpidana yang dengan putusan hakim DAPAT DICABUT dalam hal-hal yang
ditentukan dalam kitab undang-undang ini, atau dalam aturan umum lainnya ialah
:
1.
HAK
MEMEGANG JABATAN pada umumnya atau jabatan yang tertentu;
2.
hak memasuki Angkatan Bersenjata;
3.
HAK
MEMILIH DAN DIPILIH dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan
umum.
4.
hak menjadi penasehat hukum atau pengurus atas
penetapan pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu
pengawas, atas orang yang bukan anak sendiri;
5.
hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan
perwalian atau pengampuan atas anak sendiri;
6.
hak menjalankan mata pencarian tertentu.
Ø
Contoh pembatasan HTSP :
1.
Salah satu syarat untuk menjadi calon anggota
KPU adalah tidak boleh mantan narapidana (sehingga yang mantan napi tidak
memiliki hak untuk ikut seleksi calon anggota KPU)
PENGETAHUAN
UMUM
Ø
Pasal 2 ayat (3) ICESCR = Developing countries,
with due regard to human rights and their national economy, may determine to
what extent they would guarantee the economic rights recognized in the present Covenant
to non-nationals.
Ø
Restorative Justice = a theory of justice that
emphasizes repairing the harm caused by criminal behaviour.
Ø
Trial by the press adalah sebuah ironi
Ø
Mengapa Pengujian Undang Undang soal hukuman
mati beberapa waktu lalu ditolak MK ? Pidana mati, menurut MK, tidak
bertentangan dengan hak untuk hidup yang dijamin oleh UUD 1945, karena
konstitusi Indonesia tidak menganut azas kemutlakan hak asasi manusia. Hak
azasi yang diberikan oleh konstitusi kepada warga negara mulai dari pasal 28A
hingga 28I Bab XA UUD 1945, menurut MK, dibatasi oleh pasal selanjutnya yang
merupakan pasal kunci yaitu pasal 28J, bahwa hak azasi seseorang digunakan
dengan harus menghargai dan menghormati hak azasi orang lain demi
berlangsungnya ketertiban umum dan keadilan sosial. Pandangan konstitusi itu,
menurut MK, diteruskan dan ditegaskan juga oleh UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM
yang juga menyatakan pembatasan hak azasi seseorang dengan adanya hak orang
lain demi ketertiban umum.
Ø
Perbedaan penyiksaan dan penganiayaan :
1.
Dari jenis hukum yang melingkupi, “penyiksaan” termasuk
dalam yurisdiksi hukum hak-hak manusia (human rights law) dan dikenal juga
sebagai perjanjian internasional tentang hak-hak manusia (international bill of
human rights). Sementara “penganiayaan” termasuk dalam hukum pidana (common
law). Selama ini istilah “penyiksaan” memang tak pernah terdapat dalam hukum
pidana.
2.
“penyiksaan” termasuk salah satu hak manusia
yang tak boleh ditangguhkan (non-derogable right) dalam keadaan apa pun, bahkan
dalam keadaan perang atau darurat sekalipun, sehingga perbuatan ini tergolong
sebagai pelanggaran hak-hak manusia yang berat (gross violation of human
rights). Sementara “penganiayaan” dapat berupa “penganiayaan ringan” dan dapat
pula “penganiayaan berat”.
3.
Pelaku “penyiksaan” – sesuai jenis hukumnya –
adalah aparat negara (state apparatus), secara khusus adalah aparat penegak
hukum (law enforcement officials), sehingga termasuk sebagai tanggung jawab
negara (state responsibility). Sementara pelaku “penganiayaan” adalah individu
dan dengan begitu sebagai tanggung jawab individu (individual responsibility).
4.
Pelaku “penganiayaan” yang ditangani proses
hukumnya oleh aparat penegak hukum dapat saja menjadi korban “penyiksaan”. Dan
memang kebanyakan korban “penyiksaan” adalah mereka yang diduga melakukan
perbuatan kriminal.
5.
Pertanggungjawaban atas pelaku dalam perkara
“penganiayaan” diproses melalui mekanisme pengadilan pidana (criminal court).
Sementara pertanggungjawaban atas pelaku dalam perkara “penyiksaan” diproses
melalui mekanisme “pengadilan hak-hak manusia” (human rights court).
RANGKUMAN
BUKU PROF SATYA
Istilah hak
asasi manusia (HAM) merupakan suatu istilah yang relatif baru dan menjadi
bahasa sehari-hari semenjak Perang Dunia II dan pembentukan Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1945. Istilah ini menggantikan istilah natural rights
dan frasa the rights of Man.
Menurut ahli
hukum Romawi, Ulpianus, doktrin hukum alam menyatakan bahwa alamlah (bukan
negara) yang menjamin semua manusia, baik ia merupakan warga negara atau bukan.
Namun, belum sampai abad pertengahan, doktrin-doktrin hukum alam malah menjadi
sangat terkait dengan pemikiran-pemikiran liberal mengenai hak-hak alam
(natural rights). Doktrin-doktrin ini malah berujung pada diakuinya legitimasi
perbudakan dan meniadakan ide-ide utama dari HAM sebagaimana dipahami dewasa
ini. Sementara itu, frasa the righst of man dianggap tidak mencakup hak-hak
wanita. Berkaitan dengan itu, dewasa ini telah terdapat suatu perjanjian
internasional yang melarang diskriminasi terhadap wanita.
Sejatinya, asal
usul historis konsepsi HAM dapat ditelusuri hingga ke masa Yunani dan Roma,
dimana ia memiliki kaitan yang erat dengan doktrin hukum alam pra modern dari
Greek Stoicism. Setelah berjalannya waktu, dibuatlah beberapa dokumen HAM,
seperti Magna Charta (1215), Petition of Rights (1628), dan Bill of Rights
(1689). Dokumen-dokumen ini menjadi saksi tentang meningkatnya pandangan
masyarakat bahwa manusia diberkati dengan hak-hak yang kekal dan tak dapat
dicabut oleh siapapun, yang tak terlepaskan ketika manusia “terkontrak” untuk
memasuki masyarakat dari suatu negara yang primitive dan tidak pernah dikurangi
oleh tuntutan yang berkaitan dengan “hak-hak ketuhanan dari raja”. Thomas
Aquinas memandang bahwa, “All creation was subject to the eternal law and all
human regulation that purported to have inherent authority was ultimately
derived from, and justified by, transcendental sources of absolute
sovereignty.”
Selanjutnya,
pada abad ke-18 (Abad Pencerahan), suatu keyakinan yang tumbuh terhadap akal
manusia dan kesempurnaan dari hubungan manusia makin mengarah kepada ekspresi
yang makin komprehensif. Tokoh pada masa ini, John Locke, mengatakan bahwa
hak-hak tertentu dengan jelas mengenai individu-individu sebagai manusia,
karena mereka eksis dalam “keadaan alami” sebelum manusia memasuki masyarakat;
yang mengemukan di antara hak-hak tersebut ialah hak hidup, hak kemerdekaan
(bebas dari kesewenang-wenangan), dan hak milik. Menurut Locke, saat memasuki
kondisi masyarakat sipil, berdasarkan teori kontrak sosial, yang dilepaskan
manusia kepada negara hanyalah hak untuk menegakkan hak-hak ini (bukan hak-hak
itu sendiri)
Pemikiran Locke
ini pun menjadi inspirasi bagi beberapa tokoh dunia, seperti Thomas Jefferson
dan Marquis de Lafayette. Thomas Jefferson memasukkan kalimat, “We hold these
truths to be self-evident, that all men are created equal, that they are
endowed by their Creator with certain unalienable Rights, that among these are
Life, Liberty, and the Pursuit of Happiness” di dalam Declaration of
Independence pada 4 Juli 1776. Sementara itu, Marquis de Lafayette menyatakan
bahwa, “Manusia terlahir dengan tetap bebas dan berkesamaan dalam hak-haknya”
di dalam Declaration of the Rights of Man and Citizen pada 26 Agustus 1879.
Pada intinya,
dapat dikatakan bahwa ide-ide HAM memainkan peranan kunci pada akhir abad ke-18
dan awal abad ke-19 karena terlihat perjuangan melawan absolutisme politik. Hal
ini sesungguhnya dikarenakan oleh kegagalan para penguasa untuk menghormati
prinsip-prinsip kebebasan dan persamaan. Sudah menjadi syarat penting bagi
suatu negara bahwa ia mengizinkan warga negaranya untuk mengeluarkan pendapat
tentang negara dan hukum secara kritis.
Mayoritas
sarjana hukum, filsuf, dan kaum moralis setuju, tanpa memandang budaya atau
peradabannya, bahwa setiap manusia berhak minimal terhadap beberapa hak dasar. Pada
Universal Declaration of Human Rights (1948), perwakilan dari berbagai negara
sepakat untuk mendukung hak-hak yang terdapat di dalamnya “as a common standard
of achievement for all peoples and all nations”.
Menurut Karel
Vasak, terdapat tiga generasi HAM, yakni :
a. Generasi Pertama
Generasi pertama
ialah tergolong dalam hak-hak sipil dan politik (liberte). Generasi ini meletakkan posisi HAM lebih pada
terminology yang negative (“bebas dari”) daripada terminology yang positif
(“hak dari”). Ia lebih menghargai ketiadaan intervensi pemerintah dalam
pencarian martabat manusia.
b. Generasi Kedua
Generasi kedua
ialah yang tergolong dalam hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Generasi ini
berakar secara utama pada tradisi sosialis. Generasi ini merupakan respon
terhadap pelanggaran-pelanggaran dan penyelewengan-penyelewengan dari
perkembangan kapitalis yang melegitimasi eksploitasi kelas pekerja dan
masyarakat kolonial.
c. Generasi Ketiga
Generasi ketiga
mencakup hak-hak solidaritas. Konsep ini merupakan rekonseptualisasi dari kedua
generasi HAM sebelumnya. Perwujudan hak ini dapat dilihat dalam Pasal 28
Universal Declaration of Human Rights yang mencakup enam hak sekaligus, yakni
(1) the right to political, economic, social, and cultural self determination;
(2) the right to economic and social-development; (3) the right to participate
in and benefit from “the common heritage of Mankind”; (4) the right to peace;
(5) the right to a healthy and balanced environment; dan (6) the right to
humanitarian disaster relief.”
Seiring dengan
perkembangan, timbul pemikiran bahwa sudah waktunya hak asasi manusia diimbangi
juga oleh tanggung jawab atau kewajiban. Hal ini dapat dilihat dari
didirikannya organisasi Interaction Council pada tahun 1869 yang kemudian
menghasilkan Universal Declaration of Human Responsibilities. Konsep mengenai
kewajiban manusia sejatinya berfungsi sebagai penyeimbang antara konsep
kebebasan dan tanggung jawab. Hak lebih terkait dengan kebebasan, sedangkan
kewajiban terkait dengan tanggung jawab.
Instrumen HAM
sendiri tidak hanya dibentuk dalam tataran internasional, namun juga dalam
tataran regional. Dokumen-dokumen tersebut antara lain European Convention on
Human Rights (1952), American Convention on Human Rights (1969), African
(Banjul) Charter on Human and People’s Rights (1981), Cairo Declaration on
Human Rights in Islam (1990), Bangkok Declaration (1993), dan Asian Human
Rights Charter (1997).
Semenjak tahun
1970-an, telah terdapat gelombang pasang yang nyata dari demokrasi-demokrasi
baru yang muncul dari negara-negara yang masa lalunya bersifat otoriter atau
totaliter. Dimulai dari bagian Selatan Eropa (Yunani dan Spanyol), ke Amerika
Latin (Argentina, Chile, Brazil, dan Uruguay), kemudian ke bagian Timur Eropa
(Polandia, Jerman Timur, dan Hongaria), dan Afrika Selatan serta negara-negara
lainnya, beberapa pemimpin demokrasi baru telah memandang masa depan mereka
dengan penuh pengharapan. Memang berbagai cara transisi-transisi dari
pemerintah otoritarian dikondisi dan dibentuk oleh keadaan-keadaan historis
yang mungkin unik untuk setiap negara, namun mengambil pola-pola yang ada,
rezim otoritarian runtuh oleh sifat dan lamanya periode otoritarian, oleh
sarana yang dipakai rezim otoritarian untuk memperoleh legitimasi dan untuk
menangani ancaman-ancaman pada kekuasaannya, oleh inisiatf dan ketepatan waktu
gerakan-gerakan eksperimental ke arah liberalisasi, oleh tingkat keamanan dan
keyakinan diri kelompok-kelompok elit rezim dan oleh keyakinan dan kompetensi
dari mereka yang memperjuangkan terbukanya proses politik, oleh ada atau tidak
adanya sumber daya finansial, oleh pengaruh dari pihak-pihak luar, dan oleh
mode internasional yang memberikan legitimasi pada bentuk-bentuk transisi
tertentu.
Dalam sejarah
dunia, dua rezim totaliter yang paling kondang abad ini adalah Pemerintahan
Nasionalis-Sosialisme (Nazi) di bawah kekuasaan Adolf Hitler di Jerman dan
kekuasaan Bolshevisme Soviet di bawah Jossif W. Stalin. Memang di antara
keduanya secara radikal berbeda, dimana Bolshevisme adalah sosialisme (ideologi
keselamatan humanistic dan universal) sedangkan ideologi Nazi adalah rasisme
yang antihumanistik dan antiuniversalistik. Akan tetapi, Bolshevisme dan Nazi
pada hakekatnya sama-sama merupakan bentuk totaliterisme.
Menurut
Huntington, semua rezim otoritarian mempunyai kesamaan dalam satu hal, yakni
hubungan sipil militer mereka tidak begitu diperhatikan. Dalam kediktatoran
personal, penguasa melakukan apa saja untuk memastikan bahwa militer disusupi
dan dikontrol oleh kaki tangan dan kroni-kroninya, yang memecah belah dan
bekerja untuk menjaga cengkeraman kekuasaan diktator.
Dalam konteks
transisi politik ini, salah satu hal yang paling fundamental adalah perubahan
imaji terhadap militer, yang kemudian menjadi suatu institusi yang secara
optimal diarahkan untuk mengabdi kepada kepentingan bangsa. Konsepsi ini
seringkali dikaitkan dengan ideologi-ideologi “keamanan nasional”.
Oleh karena
itulah, negara-negara demokrasi baru menghadapi tantangan yang serius untuk
mereformasi hubungan sipil-militer mereka. Selain itu, mereka juga harus
membangun kekuasaan di wilayah publik, merancang konstitusi baru, menciptakan
sistem kompetisi partai dan institusi-institusi demokrasi lainnya,
liberalisasi, privatisasi, dan bergerak ke arah ekonomi pasar, meningkatkan
pertumbuhan ekonomi dengan menahan laju inflasi dan pengangguran, mengurangi
defisit anggaran, membatasi kejahatan dan korupsi, serta mengurangi ketegangan
dan konflik antaretnis dan kelompok agama.
Dalam hal
mewujudkan sebuah negara demokrasi baru, beberapa negara memiliki caranya
masing-masing. Di Spanyol dan Polandia, mereka mengubur masa lalunya yang
pahit. Sedangkan di Chile, Pemerintah setempat memilih sarana yang berbeda,
yakni dengan membuka kebenaran dari pelanggaran-pelanggaran HAM masa lalu dan
dorongan terhadap suatu pengakuan publik akan kejahatan-kejahatan dan bahkan
suatu permintaan maaf terhadap para korban.
Masalah
perdebatan antara universalisme versus relativisme budaya merupakan masalah
klasik dalam teori HAM. Relativisme budaya merupakan suatu kenyataan yang tidak
dapat dibantah. Menurut Todung Mulya Lubis, teori HAM cenderung untuk berlaku
di antara dua spektrum, yakni teori hukum alam dan teori relativisme budaya.
Menurut kalangan
relativis budaya, tidak ada suatu HAM yang bersifat universal. Berdasarkan
teori ini, tradisi yang berbeda dari budaya dan peradaban membuat manusia
menjadi berbeda satu sama lain. Hal ini tentunya berbeda dengan kaum radical
universalism yang menyatakan bahwa, “culture is irrelevant to the validity of moral
rights and rules”.
Negara-negara
dunia ketiga (terutama kelompok negara-negara non blok) berdasarkan kondisi
pada saat itu cenderung untuk menerapkan teori relativisme budaya. Menurut
Adamantia Pollis, hal ini dikarenakan, “They Experienced domination,
colonialism, authoritarian ruler, the repression or imprisonment of indigenous
dissidents, etc”. Selain itu, ada juga yang berpendapat bahwa “arrogant power
try to use the human rights issue as a political leverage in order to impose
their views…”. Sudjana berpendapat bahwa telah banyak konsep HAM yang disusun
manusia, namun semua itu hanya “manis” di atas kertas, dan “busuk” dalam
implementasinya. Menurutnya, berbagai dokumen HAM menjadi tidak bermakna sama
sekali setelah banyak peristiwa kebiadaban secara telanjang dipertontonkan di
hadapan mata kita. Banyak “nyawa” mati sia-sia dalam Perang Bosnia – Serbia,
penduduk Palestina di bawah bayang-bayang rasa takut tentara Israel, dan
terakhir warga sipil Afghanistan memperoleh “sengatan” peluru kendali Amerika
Serikat.
Berkaitan dengan
perspektif hukum internasional dalam mengurus pelaksanaan HAM di suatu negara,
menarik untuk membahas perdebatan antara kelompok yang menganut prinsip “inward
looking” versus kelompok yang mengutamakan prinsip “Outward looking”. “Outward
looking” memandang bahwa masyarakat internasional dapat dengan sendirinya
menegakkan ketentuan-ketentuan hukum dan menghukum kejahatan terhadap
kemanusiaan di suatu negara. Mereka berpendapat bahwa semua ketentuan dari
badan-badan internasional bersifat mengikat dan harus dilaksanakan. Sedangkan
“inward looking” memandang bahwa masalah HAM suatu negara hanya dapat
diselesaikan oleh orang-orang negara tersebut melalui institusi-institusi
negara tersebut. Di India dan Cina, mereka cenderung menganut sikap “inward
looking”. Sedangkan di Indonesia sendiri, ada sebagian masyarakat yang bersikap
“outward looking” dan sebagian lagi bersikap “inward looking”.
Mazmur 34 : 15 = Jauhilah yang jahat dan lakukanlah yang baik, carilah perdamaian dan berusahalah mendapatkannya!