Monday, 20 March 2017

RANGKUMAN HAK ASASI MANUSIA – PRA UTS

 *Catatan ini hanya sebagai pembantu dalam belajar dan bukan menjadi satu-satunya sumber dalam belajar. Sekiranya ini hanya sebagai reminder dan teman-teman bisa belajar dari sumber lain:) Saran dan komentar sangat terbuka untuk saya. Selamat Belajar :D

PENGANTAR
Ø  HAM = Hak yang melekat seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Ø  HAM diperlukan untuk menunjukkan bahwa manusia punya martabat
Ø  Hak dan kewajiban adalah simetris, namun tidak berada pada individu yang sama
Ø  Inti dari HAM = “HAM pada individu, kewajiban pada negara” (negara harus melindungi HAM negaranya)
Ø  Penegakan HAM sebaiknya dituangkan dalam peraturan perundang-undangan (supaya tegas dan jelas penegakannya)
Ø  Namun, HAM dapat dibatasi sejauh pembatasan menurut peraturan perundang-undangan
Ø  Pasal 70 UU 39 / 1999 = Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis
Ø  Pasal 1 angka (6) UU 39 Tahun 1999 = Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
Ø  Tidak semua pelanggaran HAM merupakan pelanggaran hukum
HUKUM
HAM
Mekanisme nasional sangat kuat dalam penyelesaiannya
Mekanisme Internasional sangat kuat dalam penyelesaiannya
Mekanisme penyelesaian jelas
Mekanisme penyelesaian tidak selalu melalui hukum
Ø  Ubi Ius ibi remedium = Dimana ada hak, maka selalu harus ada kemungkinan untuk memperbaikinya bila dilanggar = where there is a right there is a remedy
Ø  Ubi remidium ibi ius = a right existed only if a procedure for enforcing it exists

HAK ASASI MANUSIA DALAM MASYARAKAT INTERNASIONAL
Ø  Contoh instrument HAM internasional :
1.       DUHAM / UDHR = Universal Declaration of Human Right [1948]
2.       ICCPR = International Covenant on Civil and Political Rights [1966]
3.       ICESCR =  International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights [1966]
Ø  The International Bill of Human Rights consists of the Universal Declaration of Human Rights, the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, and the International Covenant on Civil and Political Rights and its two Optional Protocols
Ø  Tidak selamanya hukum internasional dapat langsung diterapkan di suatu negara
Ø  Masyarakat dunia tidak bisa asal komentar / intervensi penegakan hak asasi manusia di suatu negara (karena setiap negara punya kedaulatan)
Ø  Instrumen penegakan hak asasi manusia lintas negara :
1.       Menciptakan instrument hukum internasional (Ex: ICCPR, International Bill of Human Rights, dll)
2.       Memakai mekanisme PBB, dalam hal ini dibentuk Dewan Keamanan PBB dan Peradilan Internasional
3.       Dikenakan sanksi (Ex : Embargo, Right and Responsibility to Protect / R2P, dll)
Ø  Alasan perang yang legal :
1.       Self Defence / Pembelaan Diri
2.       Dimandatkan oleh PBB
Ø  Pasal 51 Piagam PBB = “NOTHING IN THE PRESENT CHARTER shall IMPAIR the inherent RIGHT OF INDIVIDUAL OR COLLECTIVE SELFDEFENSE IF AN ARMED ATTACK occurs against a Member of the United Nations, until the Security Council has taken the measures necessary to maintain international peace and security.”
Ø  jus ad bellum = sebutan yang diberikan pada cabang hukum yang menentukan alasan-alasan yang sah bagi sebuah negara untuk berperang dan memfokuskan pada kriteria tertentu yang membuat sebuah perang itu dibenarkan.
Ø  jus in bello = serangkaian hukum yang akan berlaku begitu peperangan dimulai.

HAK ASASI MANUSIA DALAM TRANSISI POLITIK
Ø  Hak asasi manusia tergantung perspektif dari masing-masing negara
Ø  Pada Perang Dunia II, Jerman dibawah pimpinan Adolf Hitler banyak melakukan pelanggaran HAM
Ø  3 Semboyan Revolusi Perancis = Liberté, égalité, fraternité = Kebebasan, Keadilan, Persaudaraan
Ø  Pada 1941, Presiden Franklin Roosevelt menyampaikan “The Four Freedoms of Roosevelt”, yakni :
a.       HAM Positif
1.       Freedom of Speech = Kebebasan berbicara dan mengemukakan pendapat
2.       Freedom of Religion = Kebebasan beragama
b.      HAM Negatif
3.       Freedom from fear = Kebebasan dari ketakutan
4.       Freedom from want = Kebebasan dari kemiskinan
Ø  Pada 1945, diselanggarakan konferensi San Fransisco yang mengesahkan Piagam PBB (setelah itu dibentuk UN Commission on Human Rights)
Ø  Banyak perdebatan dalam perumusan Universal Declaration of Human Rights, misalnya rancangan Pasal 1 yang semula disebutkan bahwa “ALL MEN ARE CREATED EQUAL…”, karena :
1.       Diksi “all men” dikritik oleh delegasi India karena dianggap tidak mencakup perempuan
2.       Diksi “created” dikritik oleh delegasi Uni Soviet karena mereka tidak mengakui adanya Tuhan
Akhirnya diksi yang dipakai dalam Pasal 1 DUHAM adalah “ALL HUMANS BEING ARE BORN FREE AND EQUAL…”
Ø  Pada 10 Desember 1948, Universal Declaration of Human Right disahkan di Paris (sejak itu, tiap 10 Desember diperingati sebagai Hari HAM sedunia)
Ø  Dampak positif pengesahan UDHR :
-          Pembebasan Nelson Mandela
-          Kemerdekaan Namibia
-          Pengajaran HAM di dunia
-          Dll
Ø  Pembentukan Universal Declaration of Human Rights telah memberikan otoritas kepada PBB untuk menegakkan HAM di berbagai belahan dunia (Ex : Misi Perahu Thomas Hammarberg)
Ø  3 Generasi HAM tersebut ialah :
1.      Generasi yang pertama ( dari abad ke 17 dan ke 18), memuat hak – hak “KEBEBASAN” yang sering di rujuk untuk mewakili hak – hak sipil dan politik, yakni hak – hak asasi manusia yang “klasik”. Hak – hak ini muncul dari tuntutan untuk melepaskan diri dari kungkungan kekuasaan absolutisme negara dan kekuatan – kekuatan sosial lainnya. Hak yang termasuk dalam generasi pertama ini adalah :
-          Hak hidup
-          Keutuhan jasmani
-          Hak kebebasan bergerak
-          Hak suaka dari penindasan
-          Perlindungan terhadap hak milik
-          Kebebasan berpikir, beragama, dan berkeyakinan
-          Kebebasan untuk berkumpul dan menyatakan pikiran
-          Hak bebas dari penahanann dan penangkapan sewenang – wenang
-          Hak bebas dari penyiksaan
-          Hak bebas dari hukuman yang berlaku surut
-          Hak mendapatkan proses peradilan yang adil
Hak – hak pada generasi pertama ini sering pula disebut sebagai “hak – hak negatif”, artinya tidak terkait dengan nilai – nilai buruk, melainkan merujuk pada tiadanya campur tangan terhadap hak – hak dan kebebasan individual. Jadi di generasi ini negara tidak boleh berperan aktif (positif) terhadapnya, karena akan mengakibatkan pelanggaran terhadap hak – hak dan kebebasan tersebut
2.      Generasi ke-dua (pada abad 19 dan abad 20), memuat “PERSAMAAN” atau seperangkat hak yang dikenal dengan hak – hak ekonomi, sosial dan budaya. Generasi ini berbeda dengan hak – hak generasi pertama. Pada generasi ini hak – hak muncul dari tuntutan agar negara menyediakan pemenuhan terhadap kebutuhan dari setiap orang, mulai dari makan sampai pada kesehatan. Hak – hak pada generasi ke-dua ini adalah :
-          hak atas pekerjaan
-          hak atas upah yang layak
-          hak atasjaminan sosial
-          hak atas pendidikan
-          hak atas kesehatan
-          hak atas pangan
-          hak atas tanah
-          hak atas lingkungan yang sehat
-          hak atas perlindungan hasil karya ilmiah, kesasteraan, dan kesenian
Hak – hak generasi ini pada dasarnya adalah tuntutan akan persamaan sosial, yang sering dikatakan sebagai “hak positif”. Yang di maksud posistif disini adalah bahwa pemenuhan hak –hak tersebut sangat membutuhkan peran aktif negara.  Jadi, untuk memenuhi hak – hak pada generasi ini negara diwajiban untuk menyusun dan menjalankan program – program bagi pemenuhan hak – hak tersebut. Misalnya: “seharusnya negara bisa menjamin hak untuk bekerja”
3.      Generasi ke – tiga muncul selama tiga dekade terakhir abad 20, “persaudaraan” atau hak generasi ketiga diwakili oleh tuntutan atas “HAK SOLIDARITAS” atau “hak bersama”. Hak – hak ini muncul atas tuntutan gigih negara – negara berkembang atau Dunia Ketiga atas tatanan internasional yang adil. Hak – hak pada generasi ke tiga ini adalah :
-          Hak atas pembangunan
-          Hak atas perdamaian
-          Hak atas sumbera daya alam sendiri
-          Hak atas lingkungan hidup yang baik
-          Hak atas warisan budaya sendiri
-          Hak atas generasi ketiga hak asasi manusia itu
Generasi Ke Tiga yang merupakan kritik terhadap Generasi pertama, yaitu dengan perlunya memperhatikan unsur kolektif dalam kehidupan.

HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA
Ø  UU HAM di Indonesia = UU No. 39 Tahun 1999
Ø  Hak asasi manusia dalam Pasal 28 UUD NRI 1945 :
1.       HAM berkaitan dengan hidup dan kehidupan
2.       HAM berkaitan dengan keluarga
3.       HAM berkaitan dengan pendidikan dan IPTEK
4.       HAM berkaitan dengan pekerjaan
5.       HAM berkaitan dnegan kebebasan beragama dan meyakini kepercayaan, kebebasan bersikap, berpendapat, dan berserikat
6.       HAM berkaitan dengan informasi dan komunikasi
7.       HAM berkaitan dengan rasa aman dan perlindungan dari perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat manusia
8.       HAM berkaitan dengan kesejahteraan sosial
9.       HAM berkaitan dengan persamaan dan keadilan
10.   HAM berkewajiban menghargai hak orang dan pihak lain
Ø  Pasal 28 I ayat (1) UUD NRI 1945 =  Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun
Ø  Hak-hak dalam UU 39 / 1999 :
1.       Hak untuk Hidup
2.       Hak berkeluarga dan Melanjutkan keturunan
3.       Hak mengembangkan diri
4.       Hak memperoleh keadilan
5.       Ha katas kebebasan pribadi
6.       Hak atas rasa aman
7.       Ha katas kesejahteraan
8.       Hak turut serta dalam pemerintahan
9.       Hak wanita
10.   Hak anak
Ø  Mardjono Reksodiputro mengemukakan cara pemantauan pelaksanaan HAM harus memenuhi syarat sebagai berikut :
1.       Menjadikan HAM sebagai hukum Indonesia;
2.       Terdapat prosedur hukum untuk mempertahankan dan melindungi HAM;
3.       Terdapat pengadilan HAM yang bebas (an independent judiciary); dan
4.       Adanya profesi hukum yang bebas (an independent legal profession).

HAK ATAS KEADILAN
Ø  Pembukaan DUHAM butir 3 = Whereas it is essential, if man is not to be compelled to have recourse, as a last resort, to rebellion against tyranny and oppression, that human rights should be PROTECTED BY THE RULE OF LAW
Ø  Pasal 7 DUHAM = ALL ARE EQUAL BEFORE THE LAW and are entitled without any discrimination to equal protection of the law. All are entitled to equal protection against any discrimination in violation of this Declaration and against any incitement to such discrimination.
Ø  Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945 = Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum
Ø  Pasal 17 UU 39 / 1999 = Setiap orang. tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar.
Ø  Bentuk-bentuk hak atas keadilan :
1.       Equality Before The Law = Asas Persamaan di Hadapan Hukum
2.       Presumption of Innocence = Asas di mana seseorang dinyatakan tidak bersalah hingga pengadilan menyatakannya bersalah
3.       Non Retroaktif = Asas yang melarang keberlakuan surut dari suatu undang-undang
4.       Bantuan Hukum = Jasa hukum yang diberikan oleh Pemberi Bantuan Hukum secara cuma-cuma kepada Penerima Bantuan Hukum.
5.       Ne bis in idem = seseorang tidak dapat dituntut lantaran perbuatan (peristiwa) yang baginya telah diputuskan oleh hakim
6.       Hak untuk tidak dirampas harta benda secara sewenang-wenang
7.       Larangan penyanderaan (gijzeling) = pengekangan sementara waktu kebebasan seseorang menempatkannya di tempat tertentu
8.       Independence Judiciary = Kekuasaan Kehakiman yang merdeka
9.       Penangkapan / Penahanan semena-semena
10.   Due Process of Law / Judiciary Procedure = Proses Hukum Yang Adil (bukan atas dasar kebencian semata)

HAK SAKSI DAN KORBAN
Ø  KUHAP menjadi pedoman bagi penegak hukum agar tidak abuse of power
Ø  Dalam KUHAP, pihak yang mendapat perlindungan / hak secara eksplisit hanya tersangka dan terdakwa (tidak termasuk saksi dan korban)
Ø  UU Perlindungan Saksi dan Korban = Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan  Korban
Ø  Saksi = Orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri. (Pasal 1 angka 26 KUHAP)
Ø  Semenjak Putusan MK Nomor 65/PUU-VIII/2010, saksi dalam perkara pidana tidak hanya orang yang mendengar, melihat, dan merasakan sendiri terjadinya tindak pidana. Orang yang tidak mendengar, melihat, dan merasakan terjadinya tindak pidana pun dapat menjadi saksi selama ia memiliki pengetahuan yang relevan terkait tindak pidana/tuduhan tindak pidana yang diperkarakan.
Ø  Saksi Pelaku = Tersangka, terdakwa, atau terpidana yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana dalam kasus yang sama = Justice Collaborator
Ø  Korban = Orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana (UU Perlindungan Saksi dan Korban)
Ø  Hak Saksi dan Korban : (Pasal 5 ayat (1) UU Perlindungan Saksi dan Korban)
a.       memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, Keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;
b.      ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;
c.       memberikan keterangan tanpa tekanan;
d.      mendapat penerjemah;
e.      bebas dari pertanyaan yang menjerat;
f.        mendapat informasi mengenai perkembangan kasus;
g.       mendapat informasi mengenai putusan pengadilan;
h.      mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan;
i.         dirahasiakan identitasnya;
j.        mendapat identitas baru;
k.       mendapat tempat kediaman sementara;
l.         mendapat tempat kediaman baru;
m.    memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;
n.      mendapat nasihat hukum;
o.      memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu Perlindungan berakhir;  dan/atau
p.      mendapat pendampingan
Ø  Hak-hak di atas diberikan kepada Saksi dan/atau Korban tindak pidana dalam kasus tertentu sesuai dengan Keputusan LPSK. (Pasal 5 ayat (2))
Ø  Selain kepada Saksi dan/atau Korban, hak yang diberikan dalam kasus tertentu sebagaimana dimaksud di atas, dapat diberikan kepada Saksi Pelaku, Pelapor, dan ahli, termasuk pula orang yang dapat memberikan keterangan yang berhubungan dengan suatu perkara pidana meskipun tidak ia dengar sendiri, tidak ia lihat sendiri, dan tidak ia alami sendiri, sepanjang keterangan orang itu berhubungan dengan tindak pidana. (Pasal 5 ayat (3))
Ø  Korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat, Korban tindak pidana terorisme, Korban tindak pidana perdagangan orang, Korban tindak pidana penyiksaan, Korban tindak pidana kekerasan seksual, dan Korban penganiayaan berat, selain berhak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, juga berhak mendapatkan : (Pasal 6 ayat (1) UU Perlindungan Saksi dan Korban)
a.       Bantuan Medis
b.      Bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis
Ø  Korban tindak pidana berhak memperoleh restitusi berupa : (Pasal 7A UU Perlindungan Saksi dan Korban)
a.       Ganti kerugian atas kehilangan kekayaan / penghasilan
b.      Ganti kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana, dan / atau
c.       penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis
Ø  Saksi harus berkata jujur !!! (kalau engga,  Pasal 242 ayat (1) KUHP mengancam hukuman tujuh tahun bagi siapapun dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik lisan maupun tertulis, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang ditunjuk untuk itu)
Ø  Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan/atau Pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan iktikad baik. (Pasal 10 ayat (1) UU Perlindungan Saksi dan Korban)
Ø  Dalam hal terdapat tuntutan hukum terhadap Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan/atau Pelapor atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikan, tuntutan hukum tersebut wajib ditunda hingga kasus yang ia laporkan atau ia berikan kesaksian telah diputus oleh pengadilan dan memperoleh kekuatan hukum tetap.” (Pasal 10 ayat (2) UU Perlindungan Saksi dan Korban)

HAK TURUT SERTA DALAM PEMERINTAHAN (HTSP)
Ø  HTSP = Hak untuk memilih dan dipilih
Ø  Dalam konstitusi Indonesia, setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan secara langsung atau melalui perantaraan wakil yang dipilih secara bebas (HTSP adalah hak konstitusional)
Ø  Konsep HTSP :
a.       Demokrasi Pemerintahan = Mengembangkan lembaga dan proses pemerintahan yang lebih responsive terhadap kebutuhan masyarakat
b.      Pelayanan Publik = Kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara
c.       Partisipasi Publik = Keikutsertaan publik dalam mencari bentuk dan fasilitas keterlibatan publik yang berpotensi terkena keputusan atau tertarik pada keluarnya keputusan pemerintah (prinsipnya, mereka yang terkena kebijakan pemerintah memiliki hak dalam proses pengambilan keputusan)
Ø  HTSP berguna untuk menjamin hak politik masyarakat
Ø  Pasal 43 UU HAM :
1.       Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2.       Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau dengan perantaraan wakil yang dipilihnya dengan bebas, menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundangundangan.
3.       Setiap warga negara dapat diangkat dalam setiap jabatan pemerintahan.
Ø  Pasal 44 = Setiap orang baik sendiri maupun bersama-sama berhak mengajukan pendapat, permohonan, pengaduan, dan atau usulan kepada pemerintah dalam rangka pelaksanaan pemerintahan yang bersih, efektif, dan efisien, baik dengan lisan maupun dengan tulisan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ø  Pelaksanaan dan Penerapan Hak Turut Serta dalam Pemerintahan :
1.       Adaptasi hukum yang ada / membuat peraturan baru
2.       Mengubah / menyesuaikan tindakan-tindakan administratif / keuangan (terkait prosedur)
3.       Menerbitkan rencana aksi nasional dan program-program serupa
4.       Menjamin dan memfasilitasi akses perlindungan hukum jika seseorang merasa melanggar HAM nya
5.       Secara teratur meninjau dan mengevaluasi hasil tindakan
Ø  Penyelenggaran Pemilihan Umum yang berkualitas diperlukan sebagai sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dalam pemerintahan negara yang demokratis
Ø  Pemilu sebagai proses demokrasi mencerminkan pandangan yang bersifat mekanis yang melihat rakyat sebagai massa individu yang sama
Ø  Menurut sistem organis, lembaga perwakilan rakyat mencerminkan perwakilan dari berbagai kepentingan khusus yang mencerminkan persekutuan-persekutuan hidup masing-masing
Ø  Sistem Demokrasi :
a.       Demokrasi Liberal = Pemerintahan dibatasi oleh UU dan Pemilu diselenggarakan dalam waktu yang ajeg
b.      Demokrasi Terpimpin = Para pemimpin percaya bahwa mereka dipercayai rakyat, namun menolak pemilu
c.       Demokrasi Sosial = Menaruh kepedulian pada keadaan sosial dengan egaliterianisme bagi persyaratan untuk memperoleh kepercayaan publik
d.      Demokrasi Partisipasi = Menekankan timbal balik antara penguasa dan yang dikuasai
Ø  Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945 = Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali
Ø  Pasal 22E ayat (2) UUD NRI 1945 = Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan  Perwakilan Rakyat Daerah
Ø  Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945 = Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala  pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis
Ø  Pemilihan kepala daerah bukan Pemilu !
Ø  Dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945, Pemilihan Umum pasti dilakukan secara langsung, sedangkan Pilkada hanya sebatas dilakukan secara demokratis ( Makanya Pilkada ga masuk rezim pemilu dan Pilkada boleh dilakukan melalui Lembaga Perwakilan Rakyat )
Ø  Pasal 27 UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden :
1.       Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara  telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih. 
2.       Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didaftar oleh penyelenggara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dalam daftar Pemilih.
Ø  Pasal 28 UU No. 42 Tahun 2008 = Untuk dapat menggunakan hak memilih, Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 harus terdaftar sebagai Pemilih
Ø  Lembaga pemenuhan HTSP :
1.       Pemerintah dan subordinasinya
2.       MK (Dalam hal Pengujian Undang Undang yang dianggap melanggar HTSP, sehingga dimintakan untuk diubah agar tidak melanggar)
3.       MA
4.       Penyelenggara Pemilu (KPU, Bawaslu, DKPP, dll)
Ø  Pasal 35 ayat (1) KUHP = Hak-hak terpidana yang dengan putusan hakim DAPAT DICABUT dalam hal-hal yang ditentukan dalam kitab undang-undang ini, atau dalam aturan umum lainnya ialah :
1.       HAK MEMEGANG JABATAN pada umumnya atau jabatan yang tertentu;
2.       hak memasuki Angkatan Bersenjata;
3.       HAK MEMILIH DAN DIPILIH dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum.
4.       hak menjadi penasehat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, atas orang yang bukan anak sendiri;
5.       hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak sendiri;
6.       hak menjalankan mata pencarian tertentu.
Ø  Contoh pembatasan HTSP :
1.       Salah satu syarat untuk menjadi calon anggota KPU adalah tidak boleh mantan narapidana (sehingga yang mantan napi tidak memiliki hak untuk ikut seleksi calon anggota KPU)

PENGETAHUAN UMUM
Ø  Pasal 2 ayat (3) ICESCR = Developing countries, with due regard to human rights and their national economy, may determine to what extent they would guarantee the economic rights recognized in the present Covenant to non-nationals.
Ø  Restorative Justice = a theory of justice that emphasizes repairing the harm caused by criminal behaviour.
Ø  Trial by the press adalah sebuah ironi
Ø  Mengapa Pengujian Undang Undang soal hukuman mati beberapa waktu lalu ditolak MK ? Pidana mati, menurut MK, tidak bertentangan dengan hak untuk hidup yang dijamin oleh UUD 1945, karena konstitusi Indonesia tidak menganut azas kemutlakan hak asasi manusia. Hak azasi yang diberikan oleh konstitusi kepada warga negara mulai dari pasal 28A hingga 28I Bab XA UUD 1945, menurut MK, dibatasi oleh pasal selanjutnya yang merupakan pasal kunci yaitu pasal 28J, bahwa hak azasi seseorang digunakan dengan harus menghargai dan menghormati hak azasi orang lain demi berlangsungnya ketertiban umum dan keadilan sosial. Pandangan konstitusi itu, menurut MK, diteruskan dan ditegaskan juga oleh UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM yang juga menyatakan pembatasan hak azasi seseorang dengan adanya hak orang lain demi ketertiban umum.
Ø  Perbedaan penyiksaan dan penganiayaan :
1.       Dari jenis hukum yang melingkupi, “penyiksaan” termasuk dalam yurisdiksi hukum hak-hak manusia (human rights law) dan dikenal juga sebagai perjanjian internasional tentang hak-hak manusia (international bill of human rights). Sementara “penganiayaan” termasuk dalam hukum pidana (common law). Selama ini istilah “penyiksaan” memang tak pernah terdapat dalam hukum pidana.
2.       “penyiksaan” termasuk salah satu hak manusia yang tak boleh ditangguhkan (non-derogable right) dalam keadaan apa pun, bahkan dalam keadaan perang atau darurat sekalipun, sehingga perbuatan ini tergolong sebagai pelanggaran hak-hak manusia yang berat (gross violation of human rights). Sementara “penganiayaan” dapat berupa “penganiayaan ringan” dan dapat pula “penganiayaan berat”.
3.       Pelaku “penyiksaan” – sesuai jenis hukumnya – adalah aparat negara (state apparatus), secara khusus adalah aparat penegak hukum (law enforcement officials), sehingga termasuk sebagai tanggung jawab negara (state responsibility). Sementara pelaku “penganiayaan” adalah individu dan dengan begitu sebagai tanggung jawab individu (individual responsibility).
4.       Pelaku “penganiayaan” yang ditangani proses hukumnya oleh aparat penegak hukum dapat saja menjadi korban “penyiksaan”. Dan memang kebanyakan korban “penyiksaan” adalah mereka yang diduga melakukan perbuatan kriminal.
5.       Pertanggungjawaban atas pelaku dalam perkara “penganiayaan” diproses melalui mekanisme pengadilan pidana (criminal court). Sementara pertanggungjawaban atas pelaku dalam perkara “penyiksaan” diproses melalui mekanisme “pengadilan hak-hak manusia” (human rights court).
  

RANGKUMAN BUKU PROF SATYA
Istilah hak asasi manusia (HAM) merupakan suatu istilah yang relatif baru dan menjadi bahasa sehari-hari semenjak Perang Dunia II dan pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1945. Istilah ini menggantikan istilah natural rights dan frasa the rights of Man.

Menurut ahli hukum Romawi, Ulpianus, doktrin hukum alam menyatakan bahwa alamlah (bukan negara) yang menjamin semua manusia, baik ia merupakan warga negara atau bukan. Namun, belum sampai abad pertengahan, doktrin-doktrin hukum alam malah menjadi sangat terkait dengan pemikiran-pemikiran liberal mengenai hak-hak alam (natural rights). Doktrin-doktrin ini malah berujung pada diakuinya legitimasi perbudakan dan meniadakan ide-ide utama dari HAM sebagaimana dipahami dewasa ini. Sementara itu, frasa the righst of man dianggap tidak mencakup hak-hak wanita. Berkaitan dengan itu, dewasa ini telah terdapat suatu perjanjian internasional yang melarang diskriminasi terhadap wanita.

Sejatinya, asal usul historis konsepsi HAM dapat ditelusuri hingga ke masa Yunani dan Roma, dimana ia memiliki kaitan yang erat dengan doktrin hukum alam pra modern dari Greek Stoicism. Setelah berjalannya waktu, dibuatlah beberapa dokumen HAM, seperti Magna Charta (1215), Petition of Rights (1628), dan Bill of Rights (1689). Dokumen-dokumen ini menjadi saksi tentang meningkatnya pandangan masyarakat bahwa manusia diberkati dengan hak-hak yang kekal dan tak dapat dicabut oleh siapapun, yang tak terlepaskan ketika manusia “terkontrak” untuk memasuki masyarakat dari suatu negara yang primitive dan tidak pernah dikurangi oleh tuntutan yang berkaitan dengan “hak-hak ketuhanan dari raja”. Thomas Aquinas memandang bahwa, “All creation was subject to the eternal law and all human regulation that purported to have inherent authority was ultimately derived from, and justified by, transcendental sources of absolute sovereignty.”

Selanjutnya, pada abad ke-18 (Abad Pencerahan), suatu keyakinan yang tumbuh terhadap akal manusia dan kesempurnaan dari hubungan manusia makin mengarah kepada ekspresi yang makin komprehensif. Tokoh pada masa ini, John Locke, mengatakan bahwa hak-hak tertentu dengan jelas mengenai individu-individu sebagai manusia, karena mereka eksis dalam “keadaan alami” sebelum manusia memasuki masyarakat; yang mengemukan di antara hak-hak tersebut ialah hak hidup, hak kemerdekaan (bebas dari kesewenang-wenangan), dan hak milik. Menurut Locke, saat memasuki kondisi masyarakat sipil, berdasarkan teori kontrak sosial, yang dilepaskan manusia kepada negara hanyalah hak untuk menegakkan hak-hak ini (bukan hak-hak itu sendiri)

Pemikiran Locke ini pun menjadi inspirasi bagi beberapa tokoh dunia, seperti Thomas Jefferson dan Marquis de Lafayette. Thomas Jefferson memasukkan kalimat, “We hold these truths to be self-evident, that all men are created equal, that they are endowed by their Creator with certain unalienable Rights, that among these are Life, Liberty, and the Pursuit of Happiness” di dalam Declaration of Independence pada 4 Juli 1776. Sementara itu, Marquis de Lafayette menyatakan bahwa, “Manusia terlahir dengan tetap bebas dan berkesamaan dalam hak-haknya” di dalam Declaration of the Rights of Man and Citizen pada 26 Agustus 1879.

Pada intinya, dapat dikatakan bahwa ide-ide HAM memainkan peranan kunci pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 karena terlihat perjuangan melawan absolutisme politik. Hal ini sesungguhnya dikarenakan oleh kegagalan para penguasa untuk menghormati prinsip-prinsip kebebasan dan persamaan. Sudah menjadi syarat penting bagi suatu negara bahwa ia mengizinkan warga negaranya untuk mengeluarkan pendapat tentang negara dan hukum secara kritis.

Mayoritas sarjana hukum, filsuf, dan kaum moralis setuju, tanpa memandang budaya atau peradabannya, bahwa setiap manusia berhak minimal terhadap beberapa hak dasar. Pada Universal Declaration of Human Rights (1948), perwakilan dari berbagai negara sepakat untuk mendukung hak-hak yang terdapat di dalamnya “as a common standard of achievement for all peoples and all nations”.

Menurut Karel Vasak, terdapat tiga generasi HAM, yakni :
a.            Generasi Pertama
Generasi pertama ialah tergolong dalam hak-hak sipil dan politik (liberte).  Generasi ini meletakkan posisi HAM lebih pada terminology yang negative (“bebas dari”) daripada terminology yang positif (“hak dari”). Ia lebih menghargai ketiadaan intervensi pemerintah dalam pencarian martabat manusia.

b.            Generasi Kedua
Generasi kedua ialah yang tergolong dalam hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Generasi ini berakar secara utama pada tradisi sosialis. Generasi ini merupakan respon terhadap pelanggaran-pelanggaran dan penyelewengan-penyelewengan dari perkembangan kapitalis yang melegitimasi eksploitasi kelas pekerja dan masyarakat kolonial.

c.             Generasi Ketiga
Generasi ketiga mencakup hak-hak solidaritas. Konsep ini merupakan rekonseptualisasi dari kedua generasi HAM sebelumnya. Perwujudan hak ini dapat dilihat dalam Pasal 28 Universal Declaration of Human Rights yang mencakup enam hak sekaligus, yakni (1) the right to political, economic, social, and cultural self determination; (2) the right to economic and social-development; (3) the right to participate in and benefit from “the common heritage of Mankind”; (4) the right to peace; (5) the right to a healthy and balanced environment; dan (6) the right to humanitarian disaster relief.”

Seiring dengan perkembangan, timbul pemikiran bahwa sudah waktunya hak asasi manusia diimbangi juga oleh tanggung jawab atau kewajiban. Hal ini dapat dilihat dari didirikannya organisasi Interaction Council pada tahun 1869 yang kemudian menghasilkan Universal Declaration of Human Responsibilities. Konsep mengenai kewajiban manusia sejatinya berfungsi sebagai penyeimbang antara konsep kebebasan dan tanggung jawab. Hak lebih terkait dengan kebebasan, sedangkan kewajiban terkait dengan tanggung jawab.

Instrumen HAM sendiri tidak hanya dibentuk dalam tataran internasional, namun juga dalam tataran regional. Dokumen-dokumen tersebut antara lain European Convention on Human Rights (1952), American Convention on Human Rights (1969), African (Banjul) Charter on Human and People’s Rights (1981), Cairo Declaration on Human Rights in Islam (1990), Bangkok Declaration (1993), dan Asian Human Rights Charter (1997).

Semenjak tahun 1970-an, telah terdapat gelombang pasang yang nyata dari demokrasi-demokrasi baru yang muncul dari negara-negara yang masa lalunya bersifat otoriter atau totaliter. Dimulai dari bagian Selatan Eropa (Yunani dan Spanyol), ke Amerika Latin (Argentina, Chile, Brazil, dan Uruguay), kemudian ke bagian Timur Eropa (Polandia, Jerman Timur, dan Hongaria), dan Afrika Selatan serta negara-negara lainnya, beberapa pemimpin demokrasi baru telah memandang masa depan mereka dengan penuh pengharapan. Memang berbagai cara transisi-transisi dari pemerintah otoritarian dikondisi dan dibentuk oleh keadaan-keadaan historis yang mungkin unik untuk setiap negara, namun mengambil pola-pola yang ada, rezim otoritarian runtuh oleh sifat dan lamanya periode otoritarian, oleh sarana yang dipakai rezim otoritarian untuk memperoleh legitimasi dan untuk menangani ancaman-ancaman pada kekuasaannya, oleh inisiatf dan ketepatan waktu gerakan-gerakan eksperimental ke arah liberalisasi, oleh tingkat keamanan dan keyakinan diri kelompok-kelompok elit rezim dan oleh keyakinan dan kompetensi dari mereka yang memperjuangkan terbukanya proses politik, oleh ada atau tidak adanya sumber daya finansial, oleh pengaruh dari pihak-pihak luar, dan oleh mode internasional yang memberikan legitimasi pada bentuk-bentuk transisi tertentu.

Dalam sejarah dunia, dua rezim totaliter yang paling kondang abad ini adalah Pemerintahan Nasionalis-Sosialisme (Nazi) di bawah kekuasaan Adolf Hitler di Jerman dan kekuasaan Bolshevisme Soviet di bawah Jossif W. Stalin. Memang di antara keduanya secara radikal berbeda, dimana Bolshevisme adalah sosialisme (ideologi keselamatan humanistic dan universal) sedangkan ideologi Nazi adalah rasisme yang antihumanistik dan antiuniversalistik. Akan tetapi, Bolshevisme dan Nazi pada hakekatnya sama-sama merupakan bentuk totaliterisme.

Menurut Huntington, semua rezim otoritarian mempunyai kesamaan dalam satu hal, yakni hubungan sipil militer mereka tidak begitu diperhatikan. Dalam kediktatoran personal, penguasa melakukan apa saja untuk memastikan bahwa militer disusupi dan dikontrol oleh kaki tangan dan kroni-kroninya, yang memecah belah dan bekerja untuk menjaga cengkeraman kekuasaan diktator.

Dalam konteks transisi politik ini, salah satu hal yang paling fundamental adalah perubahan imaji terhadap militer, yang kemudian menjadi suatu institusi yang secara optimal diarahkan untuk mengabdi kepada kepentingan bangsa. Konsepsi ini seringkali dikaitkan dengan ideologi-ideologi “keamanan nasional”.

Oleh karena itulah, negara-negara demokrasi baru menghadapi tantangan yang serius untuk mereformasi hubungan sipil-militer mereka. Selain itu, mereka juga harus membangun kekuasaan di wilayah publik, merancang konstitusi baru, menciptakan sistem kompetisi partai dan institusi-institusi demokrasi lainnya, liberalisasi, privatisasi, dan bergerak ke arah ekonomi pasar, meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan menahan laju inflasi dan pengangguran, mengurangi defisit anggaran, membatasi kejahatan dan korupsi, serta mengurangi ketegangan dan konflik antaretnis dan kelompok agama.

Dalam hal mewujudkan sebuah negara demokrasi baru, beberapa negara memiliki caranya masing-masing. Di Spanyol dan Polandia, mereka mengubur masa lalunya yang pahit. Sedangkan di Chile, Pemerintah setempat memilih sarana yang berbeda, yakni dengan membuka kebenaran dari pelanggaran-pelanggaran HAM masa lalu dan dorongan terhadap suatu pengakuan publik akan kejahatan-kejahatan dan bahkan suatu permintaan maaf terhadap para korban.

Masalah perdebatan antara universalisme versus relativisme budaya merupakan masalah klasik dalam teori HAM. Relativisme budaya merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dibantah. Menurut Todung Mulya Lubis, teori HAM cenderung untuk berlaku di antara dua spektrum, yakni teori hukum alam dan teori relativisme budaya.

Menurut kalangan relativis budaya, tidak ada suatu HAM yang bersifat universal. Berdasarkan teori ini, tradisi yang berbeda dari budaya dan peradaban membuat manusia menjadi berbeda satu sama lain. Hal ini tentunya berbeda dengan kaum radical universalism yang menyatakan bahwa, “culture is irrelevant to the validity of moral rights and rules”.

Negara-negara dunia ketiga (terutama kelompok negara-negara non blok) berdasarkan kondisi pada saat itu cenderung untuk menerapkan teori relativisme budaya. Menurut Adamantia Pollis, hal ini dikarenakan, “They Experienced domination, colonialism, authoritarian ruler, the repression or imprisonment of indigenous dissidents, etc”. Selain itu, ada juga yang berpendapat bahwa “arrogant power try to use the human rights issue as a political leverage in order to impose their views…”. Sudjana berpendapat bahwa telah banyak konsep HAM yang disusun manusia, namun semua itu hanya “manis” di atas kertas, dan “busuk” dalam implementasinya. Menurutnya, berbagai dokumen HAM menjadi tidak bermakna sama sekali setelah banyak peristiwa kebiadaban secara telanjang dipertontonkan di hadapan mata kita. Banyak “nyawa” mati sia-sia dalam Perang Bosnia – Serbia, penduduk Palestina di bawah bayang-bayang rasa takut tentara Israel, dan terakhir warga sipil Afghanistan memperoleh “sengatan” peluru kendali Amerika Serikat.
Berkaitan dengan perspektif hukum internasional dalam mengurus pelaksanaan HAM di suatu negara, menarik untuk membahas perdebatan antara kelompok yang menganut prinsip “inward looking” versus kelompok yang mengutamakan prinsip “Outward looking”. “Outward looking” memandang bahwa masyarakat internasional dapat dengan sendirinya menegakkan ketentuan-ketentuan hukum dan menghukum kejahatan terhadap kemanusiaan di suatu negara. Mereka berpendapat bahwa semua ketentuan dari badan-badan internasional bersifat mengikat dan harus dilaksanakan. Sedangkan “inward looking” memandang bahwa masalah HAM suatu negara hanya dapat diselesaikan oleh orang-orang negara tersebut melalui institusi-institusi negara tersebut. Di India dan Cina, mereka cenderung menganut sikap “inward looking”. Sedangkan di Indonesia sendiri, ada sebagian masyarakat yang bersikap “outward looking” dan sebagian lagi bersikap “inward looking”.

Mazmur 34 : 15 = Jauhilah yang jahat dan lakukanlah yang baik, carilah perdamaian dan berusahalah mendapatkannya!